Seri Dewi Ular-Tara Zagita Racun Kecantikan Karya : Tara Zagita Sumber DJVU : Jisokam Editor : Jisokam Ebook oleh : Dewi KZ RACUN KECANTIKAN Oleh Tara Zagita Serial Dewi Ular Gambar sampul oleh Fan Sardy Penerbit Sinar Matahari, Jakarta Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak scbagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Sinopsis Kecantikan yang merupakan kebanggaan setiap wanita kini terancam hancur. Ada racun yang menyerang khusus wanita cantik dan merusak wajah. Racun kecantikan itu disebarkan melalui udara, menurut Kumala .. Entah siapa yang menyebarkan, yang jelas akan memusnahkan seluruh kecantikan di dunia. Para top model terancam karirnya, Mereka meminta perlindungan kepada Dewi Ular, alias Kumala Dewi. Tetapi pada saat yang genting itu justru Kumala sendiri kehilangan kecantikannya. Pesonanya sebagai bidadari asli Kahyangan nyaris hilang akibat terkena racun yang sulit disembuhkan. Hal yang paling mengherankan adalah turunnya dewa galak yang sangat ditakuti oleh Buron, si jelmaan Jin Layon itu. Dewa tersebut adalah Dewa Nathalaga yang dikenal pula sebagai Dewa Perang. la mencari Kumala yarg kala itu sedang berlibur. Buron dan Sandhi bertanya-tanya, mengapa Dewa Perang mencari Kumala ? Mungkinkah si Dewa Perang itu yang menyebarkan racun kecantikan ? ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== 1 SORE ini, putri tunggalnya Dewa Permana dan Dewi Nagadini yang dikenal dengan nama Kumala Dewi alias Dewi Ular, sedang mengikuti senam Poco-poco di sebuah kantor. Kumala sengaja diundang oleh seksi olah raga kantor tersebut untuk menyemarakkan kegiatan bugar bersama, yaitu senam Poco-poco. Tentu saja para pesertanya semua wanita, baik usia muda, separoh baya, maupun yang sudah cukup tua. Hanya yang berusia 70 tahun ke atas tidak diperkenankan ikut, dikhawatirkan akan mengalami kerontokan organ tubuhnya. Tapi bukan itu yang utama. Bukan itu yang terpenting. Kedatangan seseorang di tempat tersebut itulah yang paling utama diperhatikan Dewi Ular. Ia mendapat informasi tentang rencana kehadiran Nyonya Ivone, pengusaha sukses yang punya hubungan dekat dengan Zus Dibba. Wanita yang bernama Zus Dibba itu adalah guru senam yang mengajar di beberapa tempat. Dan, Kumala cukup kenal dengan Zus Dibba. Kabarnya, kemarin malam Zus Dibba mengalami mimpi aneh tentang Nyonya Ivone. Mimpi anehnya itu diceritakan kepada Kumala Dewi, sehingga Kumala merasa perlu menemui Nyonya Ivone. Bagi Kumala, mimpi itu bukan sekedar aneh, tapi mengandung bahaya tinggi bagi Nyonya Ivone Semacam petunjuk gaib telah terjadi dan diterima Zus Dibba melalui mimpinya itu. "Aneh tapi menyeramkan bagiku, Kumala," kata Zus Dibba tadi s iang. "Aku seperti melihat jelas Nyonya Ivone mencuci mukanya dengan cairan emas. Setelah ia cuci muka dengan cairan emas itu, sekujur tubuhnya berubah menjadi seperti patung emas, tapi bisa jalan dan bisa bicara biasa. Dia menyuruhku mencuci muka dengan cairan itu juga " "Zus Dibba mau?" "Nggak. Aku menolak dan membiarkan dia pergi." "Bagus. Untung sekali Zus Dibba menolak." " Apa ada bahayanya kalau seandainya dalam mimpi itu aku mau disuruh cuci muka dengan cairan emas itu?" Dewi Ular mengangguk kalem. "Ada makna. yang cukup mengerikan dari mimpi itu. Untuk lebih jelasnya, biarkan saya menemui Nyonya Ivone dan bicara sendiri pada beliau. Zus Dibba bisa ikut menyimak pembicaraan saya nanti." "Apakah nggak bisa dijelaskan sekarang saja?" Dengan masih tetap anggun dan penuh keramahan Kumala menggeleng. "Mimpi seperti itu tergolong mimpi keramat. Hanya kepada orang yang akan mengalami sesuatu saya boleh bicara. Kepada Zus Dibba tidak boleh dikatakan. Tapi jika Zus Dibba mengetahui dari mencuri dengar, itu tidak berbahaya buat Zus Dibba sendiri." 'Aku jadi merinding lagi sekarang," Zus Dibba mengusap tengkuknya. Menyeringai canggung. "Seandainya aku mendengar langsung darimu, apa yang akan teijadi sih?" "Maut." "Kematian, maksudmu?" "Semacam itu." "Aku yang akan mengalami kematian, begitu?" "Kira-kirabegitu." "Astaga... ?!" la terperangah cemas. "Karena itulah saya harus bertemu sendiri dengan Nyonya Ivone." "Kalau kamu mau, nanti sore kamu bisa datang ke tempatku ngajar. Maksudku, di sebuah perkantoran, setiap hari Jumat begini aku ngajar senam Poco-poco. Kamu bisa ikutan. Nanti di sana Nyonya Ivone pasti datang, karena kantor itu milik Nyonya Ivone dan ia senang melihat aktivitas orang-orang kantornya di luar jam kerja." Undangan tak resmi itulah yang membuat Kumala berada di antara mereka, di sebuah ruangan semacam hall, khusus untuk kegiatan semacam itu. Kumala tidak boleh membawa ketegangan berhadapan dengan mereka. Ia tetap harus dalam keceriaan dan keramahan yang bersahabat. Bahkan ketika Nyonya Ivone datang pun Kumala tetap tenang. Seperti tidak mengalami kecemasan apapun tentang diri perempuanitu. Namun pada saat mereka break, Zus Dibba segera memperkenalkan Kumala kepada Nyonya Ivone. Mereka bertiga berada di salah satu sudut, jauh dari peserta senam lainnya. "Aneh. Yang mimpi Zus Dibba kenapa yang akan celaka saya? Sungguh mustahil sekali itu." "Dalam dunia gaib tidak ada yang mustahil, Nyonya." "Anda pikir saya orang yang percaya dengan gaib?" "Kali ini Anda harus mempercayainya, walau nantinya tidak mempercayai Iagi, Nyonya. Ini demi koselamatanjiwa Anda sendiri." "Jiwa saya tidak tergantung oleh mimpi. Anda berdua tidak perlu mencemaskan diri saya. Percayalah, saya lebih bisa menjaga diri daripada anak kemarin sore, Zus Kumala." "Nyonya," sahut Zus Dibba."... Nyonya belum tahu bahwa Kumala Dewi ini seorang paranormal yang..." "Apa itu paranormal?!" sahutnya ketus. "Seumur hidup saya belum pernah tahu apa itu yang namanya paranormal. Paramedis, saya tahu." Zus Dibba menjadi kesal mendengar pernyataan itu. Wajahnya tidak menunjukkan keramahan lagi. Geram yang tertahan membuat Zus Dibba menghembuskan napas berat. Tapi Kumala Dewi masih tetap kalem. Senyumnya tetap menghias indah, membuat kecantikannya semakin tampak lebih jelita. "Maaf, Nyonya Ivone... saya cumabisa sampaikan demikian. Saya juga hanya bisa memohon agar Anda jangan melakukan kencan asmara dengan siapa pun selama satu minggu. Sebab jika hal itu Anda lakukan, maka kekhawatiran saya itu akan benar-benar texjadi dan menimpa diri Anda. Saya akan sangat sedih jika demikian adanya." "O, begini ya... soal itu adalah soal pribadi saya, yang menurut saya, tidak seorang pun berhak mencampurinya. Apalagi memohon seperti yang anda lakukan itu, Zus Kumala. Jadi, lupakan saja tentang pertemuan ini. Anggap saja kita belum pernah bertemu. Okey." Setelah bicara begitu Nyonya Ivone pergi dengan menunjukkan sikap tidak senang atas percakapan mereka itu. Zus Dibba menggeram kesal dengan napas mendengus dan wajah cemberut. Tapi Dewi Ular menepuk-nepuk pundaknya, menenangkan emosi kejengkelannya dengan tutur kata yang masih lemah lembut namun punya nada berkharisma. "Kita harus mau menerima kenyataan pahit seperti ini. Kita harus memaklumi, pemahaman gaib memang tidak mudah diterima oleh setiap orang. Nanti saya akan coba bicara lagi dengannya, Zus Dibba." "Apakah setiap orang yang akan celaka menurut cerita itu tadi, dia harus diimpikan orang lain seperti mimpiku itu?" "Pada dasarnya, kalau ada orang lain mengimpikan temannya cuci muka dengan air emas, itu berarti temannya akan mengalami bencana usai melakukan hubungan cinta di atas ranjang dengan pasangannya. Yang sudah-sudah sih begitu." "Secara supranatural sendiri kau melihat dia bagaimana? Seperti orang yang akan sekarat? Apakah ada bayang-bayang kematian padanya? " "Bayang-bayang tidak ada. Tapi aku merasakan ada getaran aneh dalam tiap detak jantungnya Getaran aneh itu bisa diartikan macam-macam, salah satu di antaranya adalah tanda-tanda datangnya sang ajal. Tapi bisa juga punya arti lain, misalnya kebangkrutan, masalah besar dan sebagainya." "Dapatkah orang itu diselamatkan meski dia tidak mempercayai ramalanmu itu, Kumala?" "Kadang bisa, kadang tidak. Jika pantangan itu menyangkut masalah pribadinya, biasanya harus dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan. Pencegahan hanya bisa saya lakukan kalau tidak ada pantangan pribadi, seperti hubungan badan yang tidak boleh dilakukan atau yang lainnya." Zus Dibba belum begitu lama kenal Kumala Dewi. Dia belum tahu bahwa Kumala adalah Dewi Ular, bidadari asli dari Kahyangan yang turun ke bumi untuk mencari cinta sejati. Zus Dibba belum tahu bahwa Kumala memang anak dewa yang'memiliki tingkat kesaktian sangat tinggi. Referensi yang dimiliki Dibba tentang Kumala hanya sebatas seorang paranormal memiliki kekuatan supranatural, bisa menyembuhkan orang sakit, bisa meramal nasib seseorang dan bisa berkornunikasi dengan roh halus. Cuma itu yang diketahui Dibba tentang Kumala. Namun rasa percayanya, terhadap eksistensi tersebut cukup besar, sehingga ia menyayangkan sikap Nyonya Ivone yang menyampingkan saran dan pandangan Kumala. Nyonya Ivone seorang yang skiptis. Segala sesuatu dicerna dengan rasio. Yang tidak logika tidak mau dipercayai. Janda kaya itu memang tidak pernah mau diajak bicara tentang sesuatu yang bersifat magis. Baginya gaib itu tidak ada. Penyakit datang dari bakteri, kuman, virus dan sebagainya. Kematian datang dari penyakit dan kurang hati-hatinya seseorang dalam menjalani hidupnya. Maka, wajar sekali kalau himbauan Kumala itu tidak dihiraukan sama sekali. Pulang dari tempat senam ia menuju ke sebuah hotel berbintang, karena di sana, di salah satu kamar telah menunggu seorang pemuda berusia 20 tahun lebih muda darinya. Sakom, namanya. Anak band yang berhasil diperdaya hatinya oleh Nyonya Ivone, karena segala kebutuhan group band tersebut ditanggung oleh boss cantik itu. "Lama menunggunya, Sayang?" sambil sebuah ciuman diberikan di pipi Sakom. Pemuda berusia 25 tahun itu membalas dengan kecupan di bibir, karena Nyonya Ivone menyukai kecupan tersebut "Cukup lama, tapi nggak apa, yang penting Tante datang ke sini." "Kalau aku nggak datang ke sini, apa kamu mau datang ke perempuan lain, hm?" pancingnya sambil membiarkan tubuhnya disusuri oleh sentuhan jemari Sakom. "Mana mungkin saya mau datang ke perempuan lain? Memangnya mereka punya keistimewaan seperti yang dimiliki Tante Ivone?" "O, ya? Jadi, menurutmu aku punya keistimewaan ya, Kom?" "Ya," jawab Sakom sambil melepas kancing blus sehingga tangannya bebas menyelusup ke dalamnya. "Tante punya keistimewaan yang tidak dimiliki oleh perempuan lain " "Apa keistimewaanku sebenarnya?" "Pandai membangkitkan emosi cinta saya, dan semangatnya masih seperti anak ABG saja." "O, ya?" perempuan berambut pendek itu tersenyum bangga. Kecupan yang menyerang telinga Nyonya Ivone membuat perempuan itu makin menggelinjang, semakin membara hasrat cintanya. Nyonya Ivone yang masih memiliki tubuh sekal itu justru duduk di atas bufet panjang setinggi satu meter. Sakom pun mulai menyerang dengan menghunjani kecupan dan tarian lidah yang membara. "Ooh. Kom... Kom ooohh, yaaah..." Perempuan yang doyan makan daun muda itu kian meronta mengikuti irama hasrat asmaranya. Sakom melayani sebagaimana budak yang penuh kesetiaan dan kepatuhan terhadap apapun yang diinginkan rnajikannya. Hujan peluh menggenang di sekujur tubuh mereka. Ranjang yang menjadi arena pacu asmara telah berantakan. Kusut, kusam, lusuh, itulah tanda-tanda kepuasan cinta yang membentang di atas ranjang tersebut. Tetapi agaknya kisah asmara tidak cukup sampai di puncak saja. Tidak hanya berhenti sampai di sini petualangan mereka berdua . "Kom... gatal, Kom." "Mau.... lagi?" "Bukan.... aduuh, mukaku kok seperti habis dirayapi ulat bulu. Gatal di sekitar pipi kiri ini, Kom..." Sakom mengeringkan peluh dengan handuk. Wajah perempuan itu diusapnya pelan-pelan. Bagian yang gatal digaruk pelan-pelan dengan penuh kesetiaan. "Udah...?" "He, eh...! Tadi gatal banget," perempuan itu bermanja kepada Sakom. Kemanjaan itu disambut dengan kecupan rnesra. Ia senang diperlakukan demikian. Ia tertawa bangga sambil memeluk Sakom. Tapi beberapa saat kemudian ia kembali sibuk dengan rasa gatal di wajah. "Aduuul gatal lagi niiih....!" "Jangan digaruk pake kuku begitu dong, entar lecet. Kalo lecet entar wajah cantik Tante jadi rusak. Rugi kan?" Sakom memang pandai mengambil hati, menyenangkan jiwa, menghibur dan merayu. Kepandaian itulah yang disukai Nyonya Ivone. Meski usianya sudah hampir setengah abad namun ia masih dimanjakan oleh Sakom. Diusap dengan lembut, diciumi, dan dipuaskan gairahnya, adalah keistimewaan Sakom yang diakui oleh Nyonya Ivone. Ia jarang menemui anak muda yang mau bersikap semesra itu kepadanya. "Udah kan? Nggak gatal lagi?" "He,eh. Tapi. . . tapi di bawah dagu terasa gatal nih " "Coba dongakkan wajah sedikit," lalu Sakom mengusapusap tempat itu hingga rasa gatal hilang. Anehnya, beberapa saat kemudian muncul lagi rasa gatal yang dirasakan secara serentak di sekujur wajah. "Aduh, aduuuh.. kok begini sih?! Kom.. gatal semua ini?! Aduuh, gimana kok begini, Kom ! " Mereka berdua mulai tegang. "Dibasuh di kamar mandi saja, yuk!" Wajah cantik berhidung bangir itu disiram air T'api perempuan berkulit putih itu justru menjerit. Air membuatnya semakin gatal, dan rasa gatal itu makin terasa panas di kulit. Wajali putih mulus meniadi merah seperti kepiting rebus. "Antarkan aku ke dokter kulit! Aduuh, aku nggak tahan gatalnya!" "Tapi anehnya saya nggak merasakan gatal sedikit pun Tante."' "Udahlah, bawa aku ke dokter kulit aja Atau. atau... ya, ampun! Semakin gatal ini, Kom !" "Hahh... ?!" Sakom terperanjat kaget. Matanya membelalak ketika Nyonya Ivone menggosok wajahnya dengan handuk tebal, lalu handuk itu dilepaskan. Ternyata wajah itu mengalami keanehan yang cukup mengerikan. Sakom sampai terpaku di tempat dengan gemetar. "Aaaaaauuuww...!!" Nyonya Ivone menjerit begitu memandang wajahnya melalui pantulan cermin rias. Mengerikan sekali. Wajah itu mengelupas. Bahkan mengalami luka seperti tercabik-cabik. Darah pun keluar dari luka itu. Perih dan sakit sekali. Lebih sakit lagi ketika tampak beberapa belatung mulai keluar dari luka. Berjatuhan ke lantai. Berbau busuk yang makin membuat bulu kuduk meremang merinding. Sakom semakin panik, sehingga apa yang dilakukan menjadi serba salah. Semakin wajah itu digosok dengan handuk semakin rusak keadaannya. Belatung-belatung semakin be?hamburan keluar dari wajah yang mengalami kebusukan seketika itu. "Aaaauuuw, tolooong... !" "Sabar, saab... sabar... tunggu dulu, Tante..." Perempuan itu hampir saja lari keluar tanpa mengenakan pakaian. Sakom buru-buru memakaikan baju sekedarnya untuk menutupi aurat yang tidak seharusnya ditonton orang lain itu. Namun jeritan Nyonya Ivone semakin histeris, karena wajahnya benar-benar hancur. Belatung warna hitam berjatuhan dari daging wajah dan lehernya. Sungguh mengerikan, sehingga tak ada cara lain yang harus dilakukan Sakom kecuali menelepon bagian security hotel. Kejadian itu menurutnya bukan hal yang wajar. Berkaitan dengan keamanan dan kesehatan. Ketika pihak keamanan datang, suasana menjadi semakin tegang dan semuanya menjadi panik. Banyak pegawas hotel itu yang ikut menangani keanehan tersebut, namun tak ada yang mampu menyelesaikan. Pada umumnya mereka berambisi ingin menolong, tapi setelah melihat wajah hancur begitu mengerikan, mereka mundur ketakutan. Bahkan Sakom sendiri akhirnya menjauhi Nyonya Ivone dengan wajah pucat pasi dan kepanikan yang menyiksa batinnya. "Tolong akuuu... ! Tolong akuu, Kooomm...!!" Nyonya Ivone menjerit-jerit hingga ia berguling-guling di lantai. Pukul sepuluh malam lewat sedikit, Zus Dibba menelepon Kumala Dewi . Konon, saat itu ia sudah berada di dalam sebuah taksi yang meluncur ke rumah Kumala. Zus Dibba mengabarkan kembali tentang musibah yang dialami Nyonya Ivone. "Darimana Zus Dibba dapat kabar itu?" "Sakom. Cowok yang tentunya habis berkencan dengan Nyonya Ivone. Dia temanku. Akulah yang mengenalkan dia dengan Nyonya Ivone, walau akhimya ia melupakan diriku." "Apakah kita harus nienemui mereka di hotel tersebut. Sepertinya mereka sudah tidak ada di tempat, Zus." "Terakhir Sakom meneleponku dia masih di hotel. Entah sekarang," "Di rumah sakit," sahut Kumala menunjukkan bahwa ia mengetahui keadaan Nyonya Ivone saat itu lewat teropong gaib indera keenamnya. Setelah Zus Dibba di rumah Kumala, ternyata putri tunggal Dewa Permana itu sudah siap untuk pergi ke rumah sakit. Sopir pribadinya, Sandhi, sudah mengeluarkan BMW-nya dari garasi. Turun dari taksi, Zus Dibba langsung masuk ke BMW tergebut, kemudian mereka pergi ke rumah sakit. Sempat pula Zus Dibba bercerita sedikit tentang hubungannya dengan Sakom. Semula ia naksir Sakom. Tapi agaknya cowok taksirannya itu diserobot Nyonya Ivone. Hanya saja, dalam hal ini Zus Dibba tak ingin memperpanjang masalah. Ia tak ingin diperbudak oleh persaingan cinta, sehingga semuanya dianggap belum pernah ada. Dewi Ular menyeringai ngeri dan menaruh belas kasihan yang amat dalam begitu melihat keadaan Nyonya Ivone. Perempuan itu tidak mati. Napasnya masih ada. Tapi wajahnya hancur seperti bongkahan tanah kering yang mengalami keretakan di sana-sini. Belatung-belatung yang keluar dari setiap goresan wajah telah hilang. Menurut cerita Sakom, belatung-belatung itu lenyap sendiri setelah jatuh di lantai beberapa detik kemudian. Lenyapnya belatung-belatung itu sempat disaksikan oleh beberapa pegawai-hotel yang serba salah dalam menangani Nyonya Ivone tadi. Bahkan beberapa dari mereka ada yang spontan memberi pendapat bahwa Nyonya Ivone kena santet. "Aku nggak tega melihatnya lagi," kata Zus Dibba sambil menyingkir dari jendela kaca, tempat mereka menyaksikan Nyonya Ivone terbaring dengan suara rintihan kecil ia sudah tidak mengerang atau meratap lagi sejak luka-luka di wajahnya mengering. Kata Sakom, sewaktu hendak diangkut menggunakan ambulance, perempuan itu masih merintih. Tapi seteiah dalam perjalanan ke rumah sakit, rintihannya mulai hilang, karena lukanya mengering dengan sendirinya. "Seandainya dia mau dengar omongan saya, dia tidak akan mengalami nasib seperti ini. Mimpi Zus Dibba tentang cuci muka dengan cairan emas itulah yang merupakan lambang bahwa ia akan mengalami musibah seperti ini." "Apakah dia akan sembuh seperti sedia kala ?" Dewi Ular menarik napas panjang. "Semoga saja .." jawabnya sangat pelan, seolah-olah kurang optimis terhadap nasib janda kaya penggemar anak muda itu. "Benarkah karena santet?" tanya Sakom kepada Zus Dibba. Bagi guru senam pertanyaan itu sulit dijawab, sehingga ia melemparkan pandangan kepada Kumala Dewi, seakan meminta Kumala menjawabnya. "Semacam itu, tapi lebih berbahaya dari Santet." "Lebih berbahaya dari santet?! Ilmu macam apa itu?" kejar Sakom yang tampak penasaran sekali itu. Hanya saja, pertanyaan itu tidak mendapatjawaban dari Kumala, karena Zus Dibba mengajukan pertanyaan juga yang lebih penting dijawab secepatnya. "Kamu dapat mengobati wajahnya, Kumala?" "Akan kucoba. Tapi tampaknya sedikit ada kesulitan untuk mendekati Nyonya Ivone." Sandhi yang tadi berada di pintu masuk ruang isolasi tersebut segera muncul menghampiri Kumala. "Siapa pun dilarang masuk kecuali dokter dan perawat. Aku sudah coba memberikan beberapa alasan, tapi tetap dilarang masuk. Berarti kau pun tidak akan diizinkan masuk, Kumala " "Hm, gitu?" Diam sesaat, lalu Kumala berkata lagi, "Coba.:.!" Kemudian ia bergegas meninggalkan samping ruang isolasi itu menuju depan. Yang lain ikut menyusul langkah Kumala dan berhenti di pintu masuk yang tertutup dengan tulisan: "DILARANG MASUK SELAIN DOKTER DAN PERAWAT." Namun, tepat mereka tiba di sana, seorang dokter kebetulan keluar dari ruangan itu. Dokter itu menghentikan langkahnya begitu menatap Kumala Dewi. Pandangan matanya antara terpesona oleh kecantikan Dewi Ular dan merasa heran mengapa ada orang berdiri dekat sekali dengan pintu tersebut. "Selamat malam, Dok," Kumala menyapa dengan lembut, penuh keramahtamahan. Dokter itu menjadi kikuk menyikapinya. Mungkin hatinya berdebar kuat ditatap gadis secantik bidadari itu. "Malam. Hmm, ehh...' "Saya ingin menengok keadaan Nyonya Ivone, Dok. Boleh saya masuk? Hanya sendirian. Hanya saya seorang." "Aduh, maaf sekali. Ruangan ini tidak boleh dimasuki tamu siapa pun selain para dokter dan perawat yang bertugas " "Hmmm... hanya dua menit, Dok. Boleh dong." "Tidak bisa, Nona. Maaf. Sekali lagi, maaf." Dewi Ular tersenyum manis. Matanya yang seindah berlian itu memandang dengan lembut sekali. Ia beradu tatapan mata dengan dokter tersebut. Tiba-tiba dari pihak Zus Dibba, Sakom dan Sandhi melihat percikan sinar hijau kecil sekali dari mata indah Kumala. Sinar itu nyaris tak kentara. Melesat dari mata Kumala menembus mata dokter. "Hmm, hmmm, eeh... silakan! Kalau begitu, hmm... ya silakan masuk. Hanya anda seorang kan, Nona?" "Benar, Dok." "Silakan. Mari saya antar." "Terima kasih," sambil Kumala melangkah masuk. Setiap orang yang ada di ruangan itu menatap kehadiran Kumala. Dengan gerak mata yang cepat setiap orang ditatap matanya. Rasa ingin protes mereka lenyap seketika setelah menerima tatapan mata Dewi Ular. "Aneh," gumam Sakom. "Tadi dokter itu ngotot banget, melarang Kumala masuk. Tapi begitu kulihat tadi ada cahaya kecil melesat dari mata Kumala, kenapa dokter itu jadi berbaik hati. Malah memandu Kumala untuk menghampiri ranjangnya Tante Ivone?! Apakah dia gadis sakti, Zus Dibba?" Zus Dibba dan Sandhi saling beradu pandang dengan senyum tipis. Mereka memaklumi kenaifan Sakom, karena pemuda itu tadi hanya dikenalkan nama saja dengan Kumala, tanpa diberitahu s iapa Kumala sebenarnya. Bagi Zus Dibba hal itu bukan sesuatu yang aneh, karena ia tahu Kumala memliki kekuatan supranatural. Tapi hati kecil Zus Dibba sempat merasa aneh karena melihat kilatan cahaya kecil yang keluar dari mata Kumala. Baru sekarang ia melihat kenyataan yang sangat mengherankan dari diri seorang paranormal. "Bukan hal sulit bagi Kumala untuk mempengaruhi orang satu Senayan agar patuh padanya," kata Sandhi agak sombong sedikit. Ia tunjukkan pada Sakom bahwa ia sangat tahu tentang Kumala, sehingga tidak merasa heran sedikit pun dengan tindakan Kumala kepada dokter tadi. Kini mereka bertiga kembali ke samping ruangan. Bisa melihat ke dalam ruangan melalui jendela kaca yang sengaja dibuka gordynnya guna memberi peluang bagi pihak keluarga pasien yang ingin melihat dari luar. Para perawat dan dokter yang menangani Nyonya Ivone bagaikan terkesima semua kepada Kumala. Tak satu pun melarang Kumala mendekati Nyonya Ivone. Mereka memandang heran, seakan ingin tahu apa yang akan dilakukan gadis muda secantik bidadari dan menyebarkan aroma wangi yang memenuhi ruangan tersebut. Dokter yang tadi membawa masuk Kumala tetap mendampinginya, seolah-olah siap melayani apapun keperluan Kumala Dewi . "Gila dia itu?!" gumam Sakom. "Kharismanya begitu besar sampai dokter dan paramedis lainnya hormat padanya. Nggak ada yang berani mengusik dirinya sedikit pun?! Lihat...!" "Itulah Kumala Dewi," ujar Zus Dibba sambil mengangguk pendek. "Dia dukun, ya?" "Konsultan perusahaan kami," jawab Sandhi, mengalihkan persepsi yang akan timbul berkelanjutan dalam benak Sakom. "Bisa lepaskan masker oksigennya?" "Bisa," kata dokter itu tanpa merasa khawatir sedikit pun terhadap keselamatan pasiennya. Wajah Nyonya Ivone kering kerontang. Retak-retak dan terkelupas. Warnanya hitam menyerupai warna arang. Kondisi memprihatinkan itu berawal dari atas keningnya, mendekati ubun-ubun sampai leher bagian bawah. Bahkan ada kulit kepala yang sedikit berambut terkelupas kering, namun helai rambutnya masih melekat. Kelopak matanya sulit dipakai untuk berkedip. Bibirnya pun sulit digeraldkan. Suaranya parau sekali. Sepertinya urat-urat bagian lehernya ikut mengalami kerusakan hingga pita suaranya tidak berfungsi normal. "Ku... ala...," ia menyebut nama Kumala dengan susah payah dan tidak sempurna. Kumala sangat memaklumi. Justru menaruh iba hati lebih besar lagi. "Syukurlah kalau Nyonya masih ingat saya. Nyonya tenang saja. Sebentar lagi akan baik kok," hibur Kumala. "To... long...," ucapnya lagi, memohon dengan suara cadel. Agaknya bibir dan lidah sulit dipadukan untuk membentuk konsonan kata. "Ya, ya... saya akan bantu Nyonya sebisa saya. Sekarang Nyonya jangan banyak bicara dulu, ya? Tenang saja. Diam. Kalau bisa pejamkan mata." Setelah perempuan itu memejamkan mata dengan sangat lamban, Dewi Ular mengulurkan tangan kanannya. Dua jengkal di atas wajah Nyonya Ivone. Telapak tangan yang tengkurap itu memancarkan cahaya hijau samar-samar. Tipis sekali. Hampir tidak bisa dilihat dengan jelas. Cahaya hijau itu menyiram sekujur wajah Nyonya Ivone dengan sedikit kabut yang juga nyaris tak terlihat jika tidak dari jarak yang cukup dekat. Kira-kira sepuluh hitungan kemudian cahaya hijau tipis itu padam sendiri. Tangan Kumala sedikit tersentak ke atas. Seperti terpental pelan. Ia menghembuskan napas panjang. Aroma wangi semakin tajam tercium mereka akibat hembusan napas dewani itu. Wewangian itulah yang membuat hati mereka tentram tenang, dan tidak meneruh kecurigaan atau permusuhan apapun kepada Kumala. Semua diam. Termasuk Kumala pun diam. Beberapa saat kemudian wajah yang hitam itu mengeluarkan asap tipis. Putih warnanya. Asap itu menyebar dan hilang. Ternyata wajah Nyonya Ivone masih rusak dan belum kembali normal seperti sediakala. Hanya saja, kali ini sudah tidak sehitam arang. Warnanya coklat tua. Masih retak, kering, terkelupas dan sebagainya. Agaknya Dewi Ular gagal memulihkan keadaan wajah rusak itu menjadi normal. Ia tampak menghembuskan napas kecewa dan sedih. Sekali lagi dicobanya, masih saja gagal. Sandhi ikut prihatin melihatnya. "Dia gagal. Apakah wajah rusak itu sudah tidak dapat dipulihkan sama sekali? Apa penyebabnya sih?" tanya Sandhi dalam hatinya. (Oo-dwkz-234-oO) 2 PRAMUDA, orang pertama yang menemukan Kumala dan sekarang menjadi kakak angkatnya sekaligus boss di perusahaan tempat Kumala bekerja sebagai konsultan eksekutif, kali ini ingin menikmati masa libumya di sebuah pulau. Ia membawa serta keluarganya, juga Kumala Dewi dan pelayan setianya; Mak Bariah. Sandhi dan Buron sengaja tidak diikut sertakan karena mereka sudah sering menikmati liburan di tempat-tempat indah seperti di salah satu pulau dalam wilayah Kepulauan Seribu itu. Setahun yang lalu Pramuda membeli sebuah villa di pulau tersebut. Villa itu dibangun dengan penuh keindahan alami, dengan nuansa laut yang sangat mengagumkan serta nyaman untuk ditempati sebagai peristirahatan eksklusif. Pram membangun kolamjenang berair tawar di tengah taman yang dipadati tanaman tropis. Di samping itu juga terdapat sebuah gazebo yang menghadap ke pantai, sehingga bisa dipakai untuk bersantai kapan saja sambil menikmati keindahan ombak lautan nan membiru itu. "Non, Tuan Pram ingin bicara dengan Non Mala , Non Mala diminta untuk menemui beliau di serambi depan." "Ya, sebentar. Nanti aku ke sana, Mak." "Minumannya sayabawa ke sana dulu, ya Non?" "Biar aja di s ini dulu." Mak Bariah belum pergi juga, karena wajah murung Kumala masih diam di tempatnya duduk, dalam naungan atap gazebo. "Non, boleh saya bicara sedikit lagi?" Kali ini Kumala Dewi berpaling menatap pelayan setianya yang berkebaya dan sudah berusia sekitar 44 tahun itu. "Bicaralah." "Saya cuma mau kasih saran kok. Nggak apa-apa, ya Non?" Senyum kecil Kumala membias walau pun kurang begitu ceria. ''Sebaiknya Non Mala jangan murung terus-terusan. Nggak enak sama Tuan Pram. Masa diajak berlibur kemari kok Non Mala nggak gembira ? Nanti Tuan Pram dan istrinya kecewa lho. Udalah, Non... jangan banyak mikirin masalah dulu. Tunda saja masalah yang Non pikirin itu. Sekarang waktunya untuk bergembira kan, Non?" Senyum itu makin membias cerah. "Terima kasih atas saranmu, Mak." Kumala menerima saran itu dengan senang hati. Meski pun Mak Bariah adalah pelayannya, tapi perempuan itu sering diperlakukan oleh Kumala seperti orang tuanya sendiri. Keluh kesahnya sering dicurahkan kepada Mak Bariah. Kini saran seperti itu telah membuatnya semakin bijak lagi. Ia menyadari bahwa ada satu kesalahan yang ia lakukan dalam acara berliburnya ini. Mestinya ia tidak selalu memikirkan kegagalannya mengobati Nyonya Ivone itu, sehingga wajah cantiknya yang begitu indah tidak tampak murung. Dan, yang jelas ia tidak ingin mengecewakan hati Pramuda dan Emafie, istrinya. Maka, iapun buru-buru mengendalikan emosi dan menetralisir rasa kecewanya agar wajahnya tampil dengan cantik ceria kembali. "Memangnya kenapa sih kok Non Mala kayaknya kali ini serius banget mikirin masalah? Apa masih ada hubungannya dengan ceritanya Sandhi itu?" "Cerita yang mana?" "Yang itu tuh, Non... yaaang... soal perempuan wajahnya rusak?" "Ya. Memang itu yang sedang jadi pikiranku saat ini, Mak. Sangat mengganggu batinku Karena aku gagal menolong perempuan itu." "Perempuan itu akhirnya meninggal juga, begitu maksudnya?" "Nggak meninggal sih. Cuma, wajahnya nggak bisa normal kembali." "Kenapa, Non? Bukankah biasanya Non Mala bisa mengobati orang menderita sakit apapun dengan kesaktian Non Mala sebagai putri tunggal Dewa Permana? Kok kali ini gagal sih, Non?" "Karena luka atau penyakit yang diderita Nyonya. Ivone itu bukan sembarang luka. Bukan sembarang penyakit." "Kekuatan santet yang melakukannya, begitu?" "Bukan cuma sekedar santet biasa." "Oh... ?! Jadi santet macam apaitu, Non?" "Ada unsur racun di dalamnya.'" "Racun? Maksudnya... perempuan itu keracunan sesuatu?" "Mungkin begitu. Tapi aku yakin dia tidak sengaja menelan racun. Dan, bukan berasal dari jenis makanan atau minuman. Racun itu sendiri bukan masuk melalui mulutnya" "Jadi melalui telinganya?" Kumala tersenyum geli. "Juga bukan, Mak." "Lalu, racun itu melalui apa?" "Aku yakin racun itu melalui udara." "Dihirup lewat hidungnya begitu?" "Benar. Dan, racun itu bukan berasal dari alam kita." "Maksudnya?" "Berasal dari alam gaib. Mungkin juga pelakunya bukan manusia biasa, Mak." "Iih... seram! Saya jadi merinding mendengarnya, Non." Bukan hanya Mak Bariah yang merinding. Sandhi juga merinding. Tapi ia berada di tempat yang berbeda dengan Mak Bariah. Ia bersama Buron, jelmaan dari Jin Layon yang menjadi pengikut setianya Dewi Ular. Buron adalah asisten Kumala untuk urusan bidang gaib. Pemuda berambut kucai dengan penampilan seenaknya itu paling hobi nongkrong di depan teve, terutama jika ada pertandingan sepak bola. Meski acara itu tidak ada, ia memang gemar nonton acara-acara teve, termasuk iklannya. "Ron...! Ssst. Ron..!" "Apaan sih!" sentak Buron kesal didesak-desak duduknya dari tadi. "Gue merinding nih, Ron. Ada apa ya?" "Karena elu punya kulit, maka elu merinding. Coba kalo elu nggak punya kulit, mana bisa merinding. Pasti bisa perih!" "Gue serius nih, Ron! Perasaanku malam ini nggak enak, Ron." "Kayak dukun aja luh " "Yaah, elu, Ron...," Sandhi bersungut-sungut sedih dan cemas. "Kayaknya malam ini ada sesuatu yang bakal teijadi dan cukup mengerikan deh, Ron. Elu ngontrol sekeliling rumah ini dong." "Enak aja! Memangnya gue petugas ronda?" "Ron...!" "Brisik luh! Gue lagi nikmati film itu, tahu?! Bagus tuh film!" "Tapi elu punya tugas menjaga rumah ini kan? Kumala kasih tugas kamu menjaga rumah ini dari gangguan gaib mana pun. Kalau urusan maling, biar gue yang ngurus." "Bodo..." Buron masih tak mau peduli dengan kasakkusuknya Sandhi. Cerita film di teve lebih menarik diperhatikan ketimbang celoteh Sandhi yang dianggap mengada-ada itu. Akibatnya Sandhi diam dengan mulut cemberut kesal. Tapi mata sesekali melirik ke sana-sini sambil sebentar-sebentar mengusap tengkuknya. Bulu kuduknya merinding setiap merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Ia juga melirik jam dinding yang menunjuk pukul sebelas kurang sedikit. Malam cukup lengang di luaran sana. Glegaaar...! Sandhi terlonjak kaget. Buron tetap tenang menikmati tontonannya. "Roh, ada guntur tuh!" "Hmm...!" "Budek luh ya?! Ada guntur tuhl" "Biarin aja! Ada guntur berarti mau turun hujan. Kok gitu aja mesti dibahas sih?" "Nggak ada tanda-tanda mau turun hujan, masa' ada guntur sih? Pasti itu guntur gaib. Bukan guntur biasa. Ron." "Sok tahu luh! Elu benar-benar kayak dukun kurang kemenyan, tahu?" Buron cemberut kesal. Ia tidak mau peduli lagi. Tapi ketika mendengar suara gaduh di atap: "Gubraak, praak, barkk, braang praang, guzzrrraaak.. !" ternyata bukan hanya Sandhi yang menggeragap dan terlonjak kaget. Buron juga ikut terlonjak dan menjadi tegang. "Waduuh, apaan tuh?" serunya. "Gue bilang juga apa?' bentak Sandhi. Jelmaan dari Jin Layon itu segera melompat ke atas bagaikan roket diluncurkan Wuusst...! Belum sempat menyentuh atap ia sudah berubah menjadi sinar kuning seperti biasanya Sinar itu segera menembus atap dengan mudahnya. Bluuuss. . ! Kemudian lenyap untuk beberapa saat. Sandhi yang mencekam tegang segera memadamkan teve. Aliran listriknya dicabut. Ia khawatir terjadi kortsliting listrik yang bisa saja membuat rumah terbakar. "Rooon...," serunya. Ia ketakutan berada dalam kesendirian dan dicekam suasana tegang. "Burooon.. ! Ada apa di atas sana?! Hoy!" Tidak ada jawaban dari Buron. Tidak ada suara gaduh apapun. Semuanya berlangsung dengan sunyi. Detak jantung Sandhi semakin kuat. Ia menatap nanar ke sana-sini, terutama ke arah atas. "Brengsek si Buron nih. Kalau dipanggil suka berlagak budek?" geramnya untuk menghibur hati sendiri. Lalu, ia berseru tagi. ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== "Buroooon. .!! Budek luh ya?! Hooyy... ada apa di sana?!!" Tetap tidak ada jawaban. Makin cemas hatinya. Makin gemetar kedua kakinya. Ia sadar, tak ada Kumala Dewi di rumah itu. Tak ada Mak Bariah. Seandainya tahu-tahu muncul sesuatu, mati kakulah ia Kini apa yang dilakukannya serba salah. Mematikan lampu? Oh, itu lebih menakutkan. Membiarkan dirinya berada di tempat terang, itu juga membahayakan, karena dapat saja ia menjadi incaran sepasang mata jahat yang tahu-tahu akan menerkamnya dari belakang. Tiba-tiba suara gaduh datang lagi di kala Sandhi bergegas ingin masuk ke kamamya. Gubraak, bbrruuuk ...! "Setan alas luuh ...!" pekiknya spontanitas sambil melompat ke depan dan menabrak dinding. Druuk...! "Auuuuhh..." Sandhi mengerang kesakitan seraya memegangi batang hidungnya yang terasa seperti retak akibat menabrak dinding. Matanya yang nanar segera memandang ke arah tempat datangnya suara jatuh dari atas Ternyata di sana sudah ada Buron dalam keadaan terkapar. Suara Buron jelas mengerang. Pakaiannya seperti habis dicabik-cabik. Wajahnya memar merah matang. Rambutnya acak-acakan. Keadaan itu membuat Sandhi menjadi semakin sport jantung. "Ron...! Ron, kenapa kamu, Setan?" "Uuhhk, uuuuhhk...!" Buron hanya bisa menggeliat lamban dan mengerang kesakitan. Sandhi ragu-ragu untuk menghampirinya Lalu, seberkas cahaya turun dari langit menembus atap rumah. Cahaya itu bergerak pelan dan berputar-putar dalam keadaan turun.Sandhi makin tersentak kaget. Tercengang dalam keadaan merapat dinding di dekat vvashtafel. Matanya terbelalak tak berkedip memandangi cahaya merah kekuning-kuningan. Cahaya indah itu padam sebelum menyentuh lantai, kira-kira satu meter dari lantai. Blaap..! Sesosok wujud tampak nyata di mata Sandhi. Lelaki tua berjenggot abu-abu. Sebagian kepalanya botak, tapi pinggirannya berambut panjang selewat bahu warna abu-abu juga. Kumisnya pun panjang, abu-abu juga. Alisnya lebat, sampai berjuntai ke bawah, hampir menutupi mata tajamnya. Ketuaan fisiknya tidak kentara, karena ia masih bisa berdiri dengan tegak dan gagah. "Hey, anak Jin... ini hanya buat pelajaran bagi kamu. Bukan aku yang menghendaki semua ini, tapi kamu sendiri!" Busyet! Sandhi menggumam gentar dalam hatinya. Suara kakek itu bergema dan besar, menggetarkan seluruh bendayang ada di sekelilingnya. Meski Sandhi tahu persis kata-kata tadi ditujukan kepada Buron, namun dirinya menjadi gentar sekali karena seperti merasa ikut bersalah. Sementara itu Buron yang nyaris tak berdaya sepenuhnya itu benar-benar tanpa perlawanan sedikit pun. Takut dan seperti dipenuhi berbagai macam penyesalan pribadi. "Apakah kau masih belum jera di depanku, Anak jin?!" "Sia... siapa sebenarnya dirimu, Pak tua?!" Kakek berjenggot yang diperkirakan Sandhi sudah berusia 100 tahun lebih itu melirik sekeliling dengan cepat. Lalu, lirikannya berhenti dalam posisi menatap Sandhi. Saat itu Sandhi merasa seluruh urat-uratnya putus dan tulang belulangnya luluh lantak. Ia jatuh bersimpuh di lantai dengan semakin gemetaran. Ia tak berani menatap terang-terangan raut wajah tua yang masih belum berkeriput itu. Ia takut beradu pandangan mata. "Kemewahan di rumah ini rupanya yang telah membuat mata batin menjadi buta. Terutama kau, sebagai anak jin, mata gaibmu telah tercemari oleh kehidupan mewah manusiawi sehingga tak dapat mengenali jati diriku!" "Mendingan aku bertemu setan dari padabertemu kekek ini," keluh Sandhi dalam hatinya. "Dia sangat berwibawa, namun juga sangat menakutkan. Keberanian Buron sebagai anak jin saja bisa dilumpuhkan dengan penampilan wibawanya, apalagi diriku hanya manusia biasa? Aku yakin, dia bukan orang sembarang. Punya kesaktian yang tinggi. Ooh Jantungku seperti ditekan kuat-kuat setiap mendengar suaranya!" Kakek beijubah putih seperti salju dengan kain dalamnya sepanjang mata kaki berwarna orange itu berjalan mendekati Sandhi. Tiap langkahnya membuat jantung Sandhi seperti mehdapat hentakan begitu berat. Sandhi pun kian menundukkan kepala dengan napas makin berat. "Kau tak perlu merasa takut padaku, karena kau tidak berbuat salah padaku. Bangunlah!" Ajaib sekali. Hanya dengan ucapan seperti itu tubuh Sandhi dapat terangkat naik dengan sendirinya. Melayang di udara. Sampai kedua kakinya dapat ditegakkan kembali. Ia merasa seperti memperoleh kekuatan fisik yang tadi lenyap dan membuatnya tersimpuh. Kini Sandhi bisa berdin dengan kedua kaki tegak merapat. Detak jantungnya tak seberat tadi. Namun rasa takutnya masih ada, sehingga ia masih menundukkan kepala dengan keringat dingin membasahi sekujur tubuh. Ia berusaha untuk tidak beradu pandangan mata dengan kakek berhidung mancung, mirip hidung orang bule. "Kau abdi setianya Dewi Ular, bukan?" Kerongkongan Sandhi begitu kering dan terasa lengket, sehingga sulit untuk mengeluarkan suara apapun. Ia hanya bisa mengangguk dengan tetap menundukkan kepala. "Di mana dia?" Pertanyaan itu sebenarnya cukup pelan. Tapi gema suaranya telah membuat dada Sandhi seperti dihujam balok beruntun hingga timbul getaran yang menghambat pernapasannya lagi. Semakin kelu lidah Sandhi di hadapan kakek berperawakan tinggi sekitar 175 centimeter itu. "Mestinya dia ada di sini, karena hawa saktinya kurasakan datang dari sini. Tapi mengapa dia tidak ada di sini, hm?" Sandhi ingat, ada kebiasaan Kumala untuk meninggalkan gelombang hawa saktinya di rumah. Hal itu dilakukan dengan tujuan melindungi lapisan udara dari gangguan gaib mana pun, sekaligus untuk mengecohkan pihak yang bermaksud jahat padanya. Rumah tersebut selain terjaga oleh gelombang hawa saktinya Dewi Ular, juga selalu dikurung oleh energi saktinya si jelmaan Jin Layon itu. Tindakan tersebut dilakukan lantaran Kumala tak ingin kecolongan lagi. Tidak ingin tempat kediamannya yang dianggap sebagai istana pribadinya itu diganggu oleh kekuatan dari pihak lain, yang semua itu dapat merusak bahkan menghancurkan rumah dan barang-barang yang ada. Gangguan itu pernah di alami dan nyaris membuat rumah Kumala hangus terbakar akibat lapisan hawa gaibnya Buron masih mampu ditembus oleh kekuatan dari alam kegelapan, seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "BULAN BERDARAH') Si kakek berjubah putih-orange itu tampak menarik napas tipis. Sepertinya ia manahan dirinya agar tetap sabar dan memaklumi atas kebungkaman mulut Sandhi yang didera ketakutan besar itu, ia segera berpaling kepada Buron. "Kemari kau...!" perintahnya dengan nada tegas, berwibawa dan memiliki kekuatan yang sungguh menakjubkan bagi Sandhi. Kata-kata perintah itu telah membuat tubuh Buron melayang dengan cepat, dan menghampiri dirinya dalam waktu singkat. Zeeesst...! Tahu-tahu Buron sudah ada di depan kedua kaki kakek berjenggot abu-abu itu. Posisinya tetap duduk sedikit merangkak, karena rupanya selain wajah Buron memar matang, kakinya pun menjadi lumpuh bagai tak bertulang. Di depan kaki si kakek Buron mencoba meraih jubah yang dikenakan. Seet... sseet.. ! Padahal jarak mereka kurang dari satu jangkauan. Tetapi berkali-kali tangan Buron meraih jubah itu selalu gagal. Tak pernah bisa menyentuh sehelai benang pun dari pakaian kakek tersebut. Aneh sekali, menurut Sandhi. Padahal si kakek tidak berusaha menghindar mundur, dan jarak itu tetap saja dekat, namun mengapa tangan Burun tak mampu menggapai pakaian tersebut. Buron hanya bisa menghiba dengan suara lemahnya. "Sembuhkan aku..., tolong, pulihkan kekuatanku. Kumohon, tolong kembalikan diriku seperti semula..." "Itulah akibatnya kalau kau arogan dengan kesaktianmu. Sudah berkali-kali aku tadi merendah di depanmu, memohon agar jangan menyerangku, mencoba untuk bersahabat denganmu tanpa permusuhan, tapi kau tetap menyerangku, bukan? Kau keluarkan kesaktianmu sebagai bangsa jin dari kelompok jin liar, tanpa mempedulikan kerendahan hatiku. Dan, sekarang... beginilah akibatnya." "Aku hanya memenuhi tugas dan kewajiban di bawah perintah Dewi Ular. Mohon kau mengerti, Pak Tua.. aku harus menjaga tempat ini dari gangguan pihak lain yang bermaksud merusak atau mengganggu ketentraman suasana di s ini Siapa pun dia, jika masuk wilayah sini tanpa permisi, harus kuhajar dan kulumpuhkan dengan segala daya upaya yang ada padaku." Sandhi mulai paham dengan duduk perkara sebenarnya. Buron tadi bertindak gegabah. Merasa ada kekuatan dari pihak lain ingin menembus benteng pertahanan di sekitar rumah tersebut, ia langsung menyerang tanpa banyak tanya lebih dulu Rupanya Buron mencoba bertindak tegas dan cepat, hingga tidak mempedulikan kerendahan hati dari tamunya yang bermaksud menjelaskan maksud kedatangannya. Sandhi hapal betul dengan tabiat Buron yang emosionil dan sering main hajar terhadap sesuatu yang mencurigakan dan membahayakan. Barangkali setelah si kakek diserang tanpa ampun lagi, maka ia terpaksa menggunakan kekuatan pribadinya untuk memberi pelajaran bagi Buron. Dan, ternyata Buron tak mampu menandingi kekuatan tersebut, hingga babak belur serta kehilangan seluruh kekuatannya. Termasuk kesaktiannya sebagai Jin Layon. Kini, Buron menyadari kekeliruannya dengan sangat menyesal. "Aku memang salah," Buron mengakui secara gentle. "Aku memang terlalu gegabah dalam bertindak. Semua itu dikarenakan rasa tanggung jawabku yang berlebihan terhadap keselamatan Dewi Ular dan segala sesuatu yang menjadi miliknya, termasuk rumah ini." "Mestinya kau segera paham ketika pertama-tama kau menyerangku, dua pancainderamu sudah kututup lebih dulu, sehingga kau tidak dapat mengenaliku dari penciuman gaibmu maupun dari getaran batinmu. Mestinya kau segera hentikan kekurang ajaranmu tadi, jangan menunggu aku memberimu pelajaran separah ini, Layon!" Tersentak hati Buron ketika disebutkan namanya. Temyata kakek bermata tajam itu mengetahui juga nama aslinya. "Kuterima pelajaran darimu ini, Pak tua. Terima kasih, kau telah menegurku dengan cara begini. Aku janji tidak akan mengumbar napsu permusuhanku dengan semudah itu lagi." "Apa betul kau setia dengan janjimu itu?" "Aku berani bersumpah untuk..." "Tidak perlu," potongnya cepat. "Sumpahmu sudah tidak laku lagi, karena kau sering melanggar sumpahmu sendiri, baik terhadap manusia maupun terhadap sesama bangsamu." Buron menundukkan wajahnya. Malu, kesal dan sedih. "Kuakui memang aku banyak kekurangan. Aku memang sering usil dan nakal. Tapi percayalah, aku akan berusaha merubah sikapku itu secara sedikit demi sedikit. Kalau aku tak boleh bersumpah, kuharap kau mau mempercayai kata-kataku ini, Pak tua." "Sulit mempercayaimu. Tapi akan kucoba " "Sekarang, tolong pulihkan keadaanku seperti semula, Pak tua." "Itu mudah. Menyembuhkan lukamu, menyehatkan dirimu lagi, itu soal gampang. Tapi aku belum mendengar permintaan maafmu pada diriku yang sebenamya bukan musuhmu ini." Buron sedikit mendongak. Kedua kakinya masih terkulai memanjang ke belakang tanpa bisa bergerak sedikit pun. "Baiklah. Aku... mohon maaf sedalam-dalamnya, sebesarbesarnya, setulus-tulusnya, dan sejujur-jujurnya. Ampunilah aku, Pak tua!" Sandhi melirik takut-takut, memandangi Buron dan sikap si kakek berkulit bersih itu. Rupanya kakek itu berusaha menembus batin sanubari Buron untuk melihat kesungguhan permintaan maafnya tadi. Pantas ia diam membungkam untuk sekitar 15 detik, sesudahitu menarik napas agak panjang. Menenangkan emosi, menyabarkan batinnya. Mungkin. Tapi masih tetap bersikap tegas, wibawa, dan cenderung galak. "Baik. Ketulusan hatimu memohon pengampunan dariku telah membuatmu kembali seperti sediakala! Bangunlah!" Sandhi sengaja lebih mengangkat wajahnya agar dapat melihat lebih jelas lagi. Yang dilihatnya adalah suatu keajaiban baru. Ucapan kakek itu telah membuat sekujur tubuh Buron bergetar, seperti terkena aliran listrik. Buron dilingkari cahaya biru seperti tali yang meliliti tubuhnya. Cahaya itu bergerak bagaikan berlari-larian menjerat tubuh Buron di sana-sini secara bergantian. Semua terjadi dengan kecepatan tinggi. Dalam sekejap saja cahaya itu pun padam dan Buron telah menjadi normal kembali. Tidak ada luka memar matang di wajahnya. Pakaian yang rusak menjadi rapi kembali. Rambut yang acak-acakan menjadi tertata seperti saat menyaksikan acara teve tadi. Dan, kedua kakinya pun dapat digerakkan kembali. Bukan hanya itu, Sandhi pun yakin kesaktian dan kekuatan fisik Buron yang tadi lenyap pun pasti sudah berhasil dimilikinya lagi. "Ngapain dia?!" Sandhi bertanya heran dalam hatinya melihat hidung Buron mengendus-endus, seperti sedang mencari datangnya sebuah aroma yang mencurigakan batinnya. Mungkin saat itu penciuman batin Buron pun sudah dibuka kembali, sehingga ia dapat mengenali sebuah bau yang kini membuatnya sadar serta buru-buru bersujud. "Ampun...! Ampunilah hamba, Hyang Dewa..." "Kataku tadi, bangun! Kenapa malah bersujud di kakiku?!" gertak si kakek dengan menggeram. Tapi Buron tetap bersujud seakan ingin mencium telapak kaki kakek itu yang mengenakan alas kaki indah bertali perak hingga menembus jubah dan pakaian orangenya "Hamba tidak beranr tegak di hadapan Hyang Dewa. Ampunilah hamba karena baru sekarang hamba mencium aroma wangi bunga Cendanagiri yang menjadi ciri khas wewangian para penghuni Kahyangan." "Ooo,..," Sandhi manggut-manggut. Ia tahu, Buron sadar dirinya sedang berhadapan dengan dewa dari Kahyangan setelah indera pencium lahir maupun batin tidak tersumbat lagi. Hanya saja, Sandhi masih belum bisa menerka siapa Dewa yang kali ini datang dengan pembawaan galak, wibawa dan melumpuhkan keberanian pribadi pihak lain itu. "Duduklah kalau kau tak mau bangkit di depanku " tegasnya lagi. Kali ini Buron melakUkan perintahnya. Rasa hormatnya yang begitu besar telah membuat dirinya tak akan pernah berani berdiri di depan Dewa mana pun, selain hanya batas duduk dengan sangat sopan. "Dengar, Layon. .. terus terang, aku merasa terkecoh oleh permainannya Kumala Dewi alias Dewi Ular, sampai aku kecele datang ke sini. Kusangka dia ada di sini sesuai gelombang hawa saktinya. Ternyata hanya kalian berdua yang kutemukan di sini." "Atas nama Junjungan hamba; Kumala Dewi, hamba mohon maaf dan pengampuan, Hyang Dewa. Bukan maksud Kumala mempermainkan..." "Sudah. Aku sudah mengerti sekarang!" potongnya sambil menjauh tiga langkah. Buron terbungkam seketika. Menunduk dalam bersilanya. "Sekarang yang kubutuhkan darimu adalah jawaban jujur dari jelas. Di mana Dewi Ular saat ini?!" Buron diam dalam kebimbangan. Haruskah ia sebutkan di mana Kumala sebenarnya, sementara sebelum Kumala pergi berlibur ia telah berpesan agar jangan menyebutkan di mana ia berlibur saat itu kepada orang atau pihak yang baru dikenalnya. Hanya orang-orang yang sudah lama kenal dengannya saja yang boleh mengetahui di mana ia pergi berlibur bersama keluarga kakak angkatnya ltu. "Layon, kenapa kau diam? Aku ingin dapatkan keterangan tentang keberadaan Dewi Ular sekarang ini, karena ia telah menggunakan kesaktiannya untuk menyembunyikan getaran hawa dewani. Hawa itu seharusnya bisa tertangkap olehku, sehingga aku mengetahui keberadaannya. Ternyata getaran hawa dewani telah di sembunyikan untuk menghilangkan jejak keberadaannya. Kama mengerti maksudku, Layon?!" "Hamba sangat mengerti, Hyang Dewa." "Bagus. Jadi, sekarang jelaskan padaku, di mana dia berada?!" "Hmm, sesungguhnya Nyai Dewi Ular sedang berlibur, Hyang Dewa." "Berlibur?! Apa itu berlibur?" "Beristirahat, hmm... semacam bersantai atau... atau...," Buron bingung menjelaskan definisi berlibur. "Pokoknya, bersenang-senang membebaskan diri dari segala macam masalah dan beban pikiran yang..." "Sudah, sudah!" potongnya tegas. "Aku sudah mengerti maksudnya. Pikiranmu yang menjelaskan dengan singkat dan mudah kumengerti." "Maaf kalau hamba kurang pandai bertutur kata, Hyang Dewa." "Ya. Kumaafkan Jelasnya, Dewi Ular sedang pergi, begitu bukan?" "Benar, Hyang Dewa." "Di mana? Ke mana arahnya kalau aku harus datang menemuinya?!" "Hmmm, hmmm:.. hamba kurang tahu tempat liburnya, Hyang Dewa Begitu pula dengan Sandhi, yang selama ini menjadi pelayan perjalanan Nyai Dewi Ular itu, Hyang Dewa." "Itu bohong!" tegasnya dengan suara sudah tidak menggema seperti saat beliau marah tadi. "Roh suci kalian menolak jawaban tadi. Berarti kau bohong. Kau merahasiakan tempat keberadaan Dewi Ular." "Maaf, hamba cuma..." "Menjalankan perintah dan tugas dari Kumala, begitu kan?!" sahut si kakek yang membuat Buron gelagapan lagi. Salah tingkah kembali. "Kuhargai kesetiaan kalian. Kupuji kepatuhan kalian sebagai pelayan yang tidak mau berkhianat. Tapi, sekarang aku ingin merasakan kepatuhan muliamu itu, Layon. Cepat atau lambat, apabila Dewi Ular sudah kembali, katakan padanya agar dia segera menemuiku tanpa harus ditunda-tunda lagi. Paham?!" "Hamba sangat paham, Hyang Dewa." "Kalau dia terlambat menemuiku, ada akibat buruk yang akan dihadapi oleh kalian semua. Semuanya! Mengerti?!" "Mengerti, Hyang Dewa," jawab Buron tegas namun penuh hormat. "Ada yang belum kau mengerti dari semua kata-kataku tadi?!" "Ada, Hyang Dewa. Hamba belum mengerti bagaimana cara menjelaskannya kepada Nyai Dewi tentang siapa pemilik pesan tadi?" "Jelas aku yang berpesan! Kenapa masih belum mengerti kau ini?!" "Maksud hamba, apakah hamba harus menyebutkan nama Hyang Dewa agar Dewi Ular percaya bahwa pesan itu pentirig?" "O, itu maksudmu. Hmm, ya... aku memang lupa," si kakek manggut-manggut seraya berjalan pelan ke tengah ruangan, dengan kedua tangan dikebelakangkan. "Bilang sama Dewi Ular, dia ditunggu oleh Nathalaga di..." "Hahh... ??!" Buron membelalakkan matanya lebar-lebar. Ia mengalami kejutan yang luar biasa sejak mendengar nama Nathalaga disebutkan Entah mengapa ia tiba-tiba menjadi lemas dan sangat ketakutan lagi. Bahkan ketika kakek tua itu pamit pergi, Buron hanya bisa menanggapi dengan serba panik dan tergagap-gagap. Hanya Sandhi yang mendengar kelanjutan ucapan dari Nathalaga tadi. Namun Sandhi pun segera menyampingkan kata-kata itu untuk sementara, karena fokus perhatiannya tertuju pada Buron sepenuhnya. Buron terkulai di lantai dengan lemas dan terengah-engah setelah Nathalaga pergi dengan merubah diri menjadi sinar orange; merah kekuningan. Lenyap tanpa suara menembus atap. Hanya guntur aneh yang terdengar di Iuar rumah, menggelegar bergemuruh panjang. Saat itulah Sandhi segera menghampiri Buron yang diliputi kecemasan dan, perasaan heran yang cukup besar. "Kenapa kau... ?! Kenapa lemas dan terengah-engah?! Mukamu pucat sekali, Ron?! Kamu takut, ya?! Apa yang membuatmu ketakutan begini?" "Ternyata... dia adalah... Dewa Nathalaga yang... yang pernah bermusuhan dengan bangsaku; bangsa jin. Kami, bangsa jin, sampai sekarang sangat takut pada Dewa Nathalaga. Leluhurku pernah hampir disapu habis olehnya. Karenanya, generasi iblis seangkatan denganku diwanti-wanti betul agar jangan bikin masalah dengan Dewa Nathalaga. Siapa yang ketahuan bikin masalah dengannya akan dihukum sendiri oleh keluarganya, sebab perjanjian damai saat itu menyebutkan bahwa bangsa jin tidak boleh bikin masalah dengan Dewa Nathalaga. Jika ada jin yang bikin masalah, maka Dewa Nathalaga punya hak untuk menyapu habis keberadaan bangsa jin di alam sana. Mati aku kalau ketahuan oleh emakku atau sanak saudaraku. Aku bisa dimusuhi mereka!" "Memangnya Dewa Nathalaga itu dewa apa sih?" "Dewa Perang!" "Oh .?!" Sandhi terperangah. "Kenapa Dewa Perang sampai turun ke bumi mencan Kumala. ya? Ada persoalan apa sebenamya?!" (Oo-dwkz-234-oO) 3 PANORAMA indah di pulau itu menjamin kenyamanan para penghuninya. Nuansa laut yang alami punya nilai keromantisan tersendiri, yang membuat para eksekutif dan pengusaha muda berhasrat menikmati kehangatan alaminya. Ada yang menempati villanya sendiri, seperti Pramuda. Tapi ada pula yang sekedar menyewa dari seorang rekannya. Menurut Kumala, pulau itu pantas dinamakan Pulau Cinta, karena hampir sebagian besar mereka yang datang ke pulau itu bukan untuk berlibur dengan keluarganya, melainkan dengan pasangannya. Hanya sebagian saja yang membawa keluarga. Di sana-sini Kumala menjumpai beberapa pasangan tanpa kenal batas usia. Terlepas apakah mereka pasangan resmi atau tak resmi, yang jelas selain bangunan mewah juga banyak wajah-wajah cantik dan tampan bertebaran di pulau tersebut. "Pulau ini memang tidak begitu luas, tapi punya fasilitas wisata yang cukup lengkap." "Kau sering datang ke sini, rupanya?" pancing Kumala dengan senyum kecilnya. Pria muda berperawakan atletis itu tersenyum agak tersipu Namun dari tatapan matanya tampak betul bahwa ia tidak bermaksud menyangkal persepsi tadi. "Tanteku pemilik cottage yang ada di sebelah timur." "Ooo...," Kumala menggumam pelan sambil manggutmanggut. Masih berlagak santai walau hatinya tertuju kepada pria tampan berkumis tipis itu. Brion, nama panggilannya. Usianya sekitar 27 tahun. Punya ketampanan wajah yang cukup simpatik. Jantan tapi kalem. Kumala mengenalnya dari Prasetya, kakak dari Pramuda yang ikut berlibur bersama anak-istrinya itu. Konon, Brion dulu pernah menjalin hubungan bisnis dengan Prasetya, tapi entah kenapa, usahanya bangkrut. Sudah hampir dua tahun Pras tak bertemu Brion. Tahu-tahu mereka bertemu di Kepulauan Seribu dalam keramah-tamahan yang sangat bersahabat. Penuh keakraban. Tak canggung sedikit pun Brion bergaul dengan keluarganya Pras, sehingga kesan gaul dan supelnya membuat mereka menjadi terkesan. Itulah sebabnya Kumala Dewi tak keberatan ketika Brion minta izin duduk di bangku kosong depan Kumala, toh Kumala merasa sudah cukup lama duduk sendirian di cafe kecil itu sambil menikmati panorama senja yang indah. Jujur saja, hati kecil Kumala punya pujian tersendiri untuk pria berambut panjang selewat bahu itu. Karena, sejak Kumala duduk di cafe kecil, di bawah payung pantai, hampir semua lelaki yang lewat di dekatnya selalu menyempatkan berhenti untuk menatapnya dengan rasa kagum. Mereka sangat tertarik dengan kecantikan Kumala. Beberapa sempat terpesona hingga terbengong di tempat. Tapi dari sekian banyak mata pria muda maupun tua, hanya Brionlah yang punya keberanian menghampiri Kumala. Mungkin karena semalam Brion hadir dalam acara makan bersama keluarga Pramuda, sehingga ia tak canggung lagi menghampiri Kumala. Tapi teropong gaib yang dimiliki Kumala pun mendeteksi adanya nyali cukup besar dalam diri Brion untuk mendekati wanita secantik bidadari. Brion seorang yang selalu optimis memandang hidup dan punya percaya diri sangat besar, sehingga tak sedikit pun ia punya perasaan minder dalam berhadapan dengan semua orang. "Seminggu berapa kali kamu datang ke sini, Bri?" "Nggak tentu. Kadang sebulan penuh, aku di sini." "O, ya? Ngapain aja?" "Bantu-bantu tante menangani cottagenya. Atau kadang bantu temanku bikin beberapa acara live show di Caribia Pub yang ada di sebelah sana itu," ia menunjuk ke satu arah, dan memang di sana ada sebuah pub, meski tak begitu besar namun kabarnya merupakan pub yang paling sering dikunjungi wisatawan setempat. "Sama saja kamu jadi penduduk di pulau ini, ya Bri?" canda Kumala. "Ya. Tapi KTP-ku masih KTP Jakarta Iho. Karena memangkku bukan penduduk pribumi pulau ini." "Berapa banyak penduduk pribumi yang ada di sini?" "Nggak sampe sepuluh persen dari jumlah yang ada. Mayoritas dikuasai oleh kaum pendatang. Makanya, jangan heran kalau di semua tempat hiburan di sini banyak orang yang mengenalku." "Ngetop juga namamu di sini, ya?" sanjung Kumala setelah baru saja Brion membalas teguran akrab dua orang wanita berpakaian bikini. "Karena aku cenderung bergerak di bidang intertain maka Orang mudah mengenalku, Kumala. Mudah pula bagiku untuk menyebutkan kalau di pulau ini ada dua penginapan; satu hotel satu cottage... lalu ada 6 cafe atau pub, tiga tempat perjudian high-class, 43 tempat tinggal atau villa, 8 rumah penduduk asli dan. .." "Seribu wanita cantik, tentunya," sahut Kumala sangat komunikatif, yang membuat percakapan senja hari itu menjadi lebih mengalir lagi, diselingi letupan tawa kecil dari canda ria bergaya gaul. "Kalau jumlah wanita cantiknya sih... gue nggak tahu, Kumala. Yang gue tahu, dari semua wanita cantik yang ada di pulau ini, cuma ada satu yang paling cantik dan paling menarik. Kamu." "Uhmmm...!" Kumala mencibir pertanda menolak sanjungan langsung itu. Tapi justru membuat pecahnya tawa Brion agak keras, sehingga memancing perhatian beberapa orang yang sedang berada di sekitar cafe tersebut. Kumala tak tahu kalau cibiran bibirnya itu telah menimbulkan getaran kuat di hati Brion, karena menurut cowok itu kecantikan Kumala semakin bertambah besar dan kian menggoda hati manakala bibir ranum tersebut mencibir dengan mata indahnya melirik kecil Menggemaskan. "Dia sama saja dengan cowok lainnya," bisik hati Kumala. "Berusaha lebih akrab denganku, lalu berusaha menjerat hatiku untuk menjalin hubungan pribadi. Cuma, dia sedikit agak beda dari mereka yang selama ini penasaran ingin mendapatkan tempat di hatiku. Cowok yang satu ini berani merayuku terang-terangan walau baru saja semalam berkenalan. Tapi rayuannya itu dikemas dengan jalinan kata dan canda yang menyenangkan hatiku, sehingga membuatku nggak bisa memberi penilaian rendah pada caranya menyatakan rayuan tadi. Dia... yaa, dia memang punya-daya tarik yang beda dibanding pria lainnya. Tapi apakah pintu hatiku sanggup terbuka untuknya kalau pada akhimya nanti aku dan dia sering bertemu? Apakah dia mampu kalahkan daya tariknya Rayo Pasca yang sekarang sudah menjadi penghuni hatiku? Aah, tapi... gimana ya? Aku sering kehabisan waktu karena tingkat kesibukanku yang tinggi. Rayo pun sibuk dengan risetnya di sana-sini, sampai nggak punya waktu buat adakan pertemuan rutin denganku Apakah aku harus lepaskan Rayo dan mulai memberi peluang pada Brion?!" Lamunan itu terputus, karena Brion sudah selesai bicara dengan temannya yang tadi menelepon ke HP-nya. Pandangan mata Kumala pun sudah tidak pantas lagi dilayangkan ke tengah lautan sana. Ia harus kembali berada dalam suasana akrabnya dengan memperhatikan dan menanggapi pembicaraan Brion selanjutnya. Kumala masih merasa betah duduk di situ. Ia sendiri heran mengapa betah duduk bersama Brion. Padahal tadi sudah dua kali Emafie, istri Pram, melambaikan tangan dari kejauhan. Memanggil Kumala agar segera kembali ke villa yang letaknya sekitar 100 meter dari cafe tersebut. "Jadi, kalau kamu di sini, kamu tinggal di rumah yang sebelah mana, Bri?" "Aku punya banyak tempat untuk kutempati selama di sini. Jadi, yaah. .. nggak tentu di mana aku tinggal. Kadang aku menempati tempat khusus di cottage hingga berhari-hari." "Oooo..." "Memangnya kenapa? Kamu mau main ke tempat tinggalku?" "Belum terpikir untuk begitu," jawab Kumala sambil menyunggingkan senyum malu, lalu hatinya bergumam sendiri, "Ngapain juga kutanyakan hal seperti itu; ya? Malumaluin aja nih?!" Suara pelan Brion memancing mata Kumala untuk memandangnya. "Kalau mau cari aku, panggil aja lewat HP-ku. Sudah kuberikan padamu kartu namaku?" "Kemarin malam bukan aku yang menerimanya. Emafi" "0,ya? Wah , kalau begitu..." "Nggak usah. Nanti bisa kutanyakan pada Ema berapa nomor HP-mu." "Begitu juga boleh. Toh noinor itu belum tentu kau perlukan, ya nggak?" sambil tatapan matanya begitu lembut menawan hati. Kumala hanya tersenyum seraya berlagak memalingkan wajah ke arah pantai. la bukan takut beradu pandang. Ia hanya merasakan ada sesuatu yang terasa lain dari tatapan mata lembut Brion itu. "Ada sesuatu yang mencurigakan pada dirinya," pikir Kumala. "Apakah aku perlu masuk ke alam pikirannya? Ah, jangan! Nanti aku tahu semua tentang harapannya terhadapku, bisa-bisa aku terpikat kuat-kuat padanya. Biarin aja sesuatu itu tetap mencurigakan. Nanti pasti akan kuketahui kebenarannya." Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita memanggil pemuda itu Suara tersebut membuat Kumala merespon dengan berpaling dan mencari s i pemilik suara. "Brion..! Bawakan ini, lekas!" "Oh, hmm... ya, ya Tante... !" Brion bergegas bangkit. Kumala masih memperhatikan perempuan yang baru muncul dari mini market yang bersebelahan dengan cafe tersebut. Perempuan itu menatap Kumala juga dengan tatapan kurang ramah. "Sorry, aku ambil belanjaan tanteku dulu, ya La?" "O, ya, ya... silakan!" Kumala masih tertegun memandangi perempuan yang baru keluar dari mini market itu. Bukan keranjang belanjaannya yang menjadi daya tarik bagi Kumala, tapi penampilan perempuan itulah yang menjadi pusat perhatian mata indahnya Djewi Ular. Perempuan itu masih belum begitu tua. Usianya sekitar 40 tahun. Mungkin malah kurang Yang jelas masih tampak cantik dan sexy. Dilihat dari penampilannya, Kumala dapat menduga bahwa perempuan itu seorang wanita karir atau pengusaha yang sukses dalam bidangnya. Ia juga perempuan yang memiliki kecenderungan untuk bersikap angkuh atau sombong di depan publik, serta gemar memamerkan kekayaannya melalui model pakaian atau pun perhiasan yang dikenakannya. "Apa benar itu tantenya Brion?" pikir Kumala - semakin curiga. Namun ia buru-buru berusaha untuk tidak terlalu berlarutlarut memikirkan masalah itu. Ia anggap perempuan itu memang benar tantenya Brion, dan ia anggap tidak ada sesuatu yang perlu dicurigai dari perempuan tersebut. la justru melambaikan tangan pada Mak Bariah yang ada di kejauhan sana, dan tampaknya kebingungan mencari dirinya. Namun ketika Brion memasukkan barang belanjaan itu ke sebuah mobil sedan kecil, perempuan itu justru menghampiri Kumala Dewi dengan membiarkan wanita yang menjadi temannya dan sama-sama keluar dari mini market tadi bergegas ke arah mobil. Dari caranya melangkah dan caranya memandang agaknya perempuan berambut cepik itu menyimpan rasa penasaran kepada Kumala. Sepertinya ia belum akan merasa tenang dan lega kalau belum menghampiri Kumala yang tadi sempat dilihatnya ngobrol dengan Brion. "Sorry, Anda temannya Brion, ya?" "Ya. Ada apa, Tante?" Kumala menjawab dengan kelembutan dan keramahan yang begitu tenang: Tetap anggun dan berkharisma. Sebelum perempuan berkulit putih dengan dada sekal menantang itu bertanya lagi, Brion sudah lebih dulu tiba di situ dan langsung bicara kepada Kumala Dewi. "Kumala, kenalkan ini tanteku. Tante... ini Kumala Dewi, saudaranya Bang Pras, bekas teman bisnis saya dulu." Dengan tetap menjaga keramahan yang bersahabat Kumala berdiri. Mengulurkan tangan lebih dulu, kemudian perempuan itu menjabat tangan Kumala. "Cristy...!" Ia menyebut namanya dengan tegas dan jelas. Genggaman tangannya pun erat sekali. Terkesan kasar Tapi Kumala Dewi tetap membalas dengan kelembutan dan keramahan yang berkharisma. "Cewek ini berbahaya. Bisa-bisa menjadi biang bencana bagi hubunganku dengan Brion." Terdengar suara hati Tante Cristy di telinga indera keenamnya Kumala. Semua yang dipikirkan Tante Cristy dapat dibaca oleh Dewi Ular. Maka, sejak itu jelas sudah tentang diri Brion sebenamya. Brion bukan keponakan asli Tante Cristy. Brion adalah gacoannya Tante Cristy yang bertugas melayani gairah dan memberi kepuasan kepada perempuan itu kapan pun diinginkannya. Rasa simpati Kumala pun berkurang. Ia tak ingin berpikir tentang kelanjutan hubungannya dengan Brion, selain hanya sebagai orang yang pemah dikenalnya. Itu saja. "Dia harus kuanggap sebagai teman biasa. Sama seperti cowok yang lain. Beda jauh dengan perasaanku kepada Rayo Pasca," pikir Kumala sambil tersenyum tipis memandangi kepergian Tante Cristy bersama Brion. "Hampir saja aku terkecoh dengan penampilannya," tambah batin Kumala saat menarik napas panjang-panjang. Tapi dahinya segera berkerut, seperti ingat sesuatu yang tadi tak sempat dibahas oleh hati kecilnya sendiri. Sesuatu yang diingatnya itu mencemaskan sekali, karena berkaitan dengan keselamatan Tante Cristy. Handphone segera dikeluarkan dari saku celana kulotnya. Dewi Ular yang saat itu mengenakan blus tanpa lengan ketat badan segera memejamkan mata. Handphone itu diletakkan di rneja depannya. Dengan kekuatan supranaturalnya ia mencuri alam pikiran Brion dari tempat itu. Seluruh memori yang tersimpan dalam pikiran Brion berhasil disadap. Ia menemukan nomor handphone milik Brion sendiri. Maka, dengan modal ingatan tersebut Dewi Ular segera menghubungi teleponnya Brion yang diperkirakan masih dalam perjalanan bersama Tante Cristy. "Brion, bisa kau kembali menemuiku di cafe tadi?" "Hmm, eeh kapan? Sekarang? Aduh, sorry kalau sekarang nggak bisa, Kumala. Sekarang aku harus antar tante dulu nih " "Ada sesuatu yang berbahaya dalam diri tantemu itu, Brion." "Maksudmu? Hmm, eeh... sebentar, sebentar...!" Brion terganggu bicaranya karena digerecoki oleh Tante Cristy. Perempuan itu sewot. Cemburu. Memaksa Brion agar menghentikan pembicaraan dengan Kumala. Brion mencoba menjelaskan sesuatu yang ingin dikatakan oleh Kumala, tapi Tante Cristy sepertinya tidak mau tahu. "Putuskan telepon itu! Sekarang juga, Brion!!" Suara tersebut terdengar sampai di telinga Kumala, sehingga Kumala mengetahui suasana yang terjadi di saat itu. "Brion, berikan HP-mu pada Tante Cristy, aku mau bicara dengannya. Lekas, Bri!" "Nggak usah. Anu... begini..." "Brion, ini masalah penting. Masalah keselamatan perempuan itu. Aku harus bicara dengannya." "Tapi... tapi..." "Ayolah, Brion . berikan HP-mu padanya. Biar aku jelaskan adanya bahaya dalam dirinya. Dia terancam maut, Brion." Mungkin karena tak punya pilihan lain lagi, akhirnya Brion benar-benar myerahkan HP-nya kepada Tante Cristy. Tapi perempuan itu menolak dengan marah. "Ngapain aku mesti melayani omongannya? Memangnya dia itu siapa?! Enak aja sok akrab denganku!" "Katanya Tante dalam bahaya. Dia mau kasih tahu soal itu." "Bahaya apaan?! Kayak dukun aja dia?! Nggak! Aku nggak mau bicara dengan gadis jalang itu." Tiba-tiba Tante Cristy tersentak kaget, karena seperti ada orang berbisik jelas dan keras di telinga kirinya. "Aku bukan gadis jalang, Tante!" "Hah. ..?! Aku... aku seperti mendengar suaranya?!" "Tante dalam bahaya. Lekas temui saya, saya akan selamatkan nyawa Tante sekarang juga." Suara Kumala Dewi didengarnya lebih jelas lagi, lebih membuat Tante Cristy semakin kebingungan dan terheranheran dengan mata menegang. Perasaan takut dan heran ditekan kuat-kuat. Pada dasamya Tante Cristy tidak mau terpengaruh oleh perasaannya sendiri. Suara aneh Kumala itu berusaha untuk dilupakan. Kini di dalam kamarnya ia berjuang mengusir keresahan batinnya. Meski sudah sampai di villa kecil miliknya yang tak jauh dari cottage itu, Tante Cristy masih sesekali mendengar suara bisikan Kumala Dewi. Dan, ia melawan serta berusaha untuk tidak mempedulikan, hingga timbul keresahan yang menyiksa batinnya. "Siapa sebenarnya gadis yang kau kenal itu, Bri?! Suaranya masih kudengar terus, seperti berbisik di telingaku." "Dia adiknya teman saya, Tante. Dia seorang konsultan di sebuah perusahaan yang sedang berkembang " "Jangan-jangan dia itu titisan iblis?!" "Ah, Tante...!" Brion agak bersungut-sungut. Merasa tak suka mendengar Kumala dikecam sedemikian rupa. Namun sikap Brion itu justni memancing kecemburuan Tante Cristy, sehingga mereka sempat cekcok mulut agak lama. Meski pun malam semakin larut tapi Tante Cristy belum mau berhenti mengomel, yang membuat Brion menjadi jengkel sekali, salah tingkah, namun juga mencoba untuk mengalah berkali-kali. "Kenapa kamu bersifat membela dia sih? Memangnya ada hubungan apa kamu sebenarnya sama dia, Bri? Ngaku aja deh! Ngaku, ada hubungan apa kamu sama Kumala?" "Nggak ada hubungan apa-apa, Tante. Cuma teman biasa. Baru saja kenal kemarin malam. Cuma, saya yakin dia orang pintar. Artinya, dia bukan gadis yang bodoh. Kalau dia bilang begitu berarti dia memang tahu bahwa tante dalam bahaya." "Kamu beimaksud menyanjungnyakan? Kamu mau bilang kalau dia itu dukun sakti begitu?" "Tante, ingatlah... ini demi kebaikan Tante sendiri. Bukan demi kebaikan orang lain. Tantelah yang ingin diselamatkan dari bahaya. Saya sendiri nggak tahu dia dapat informasi dari mana soal itu, tapi saya yakin dia bukan gadis bermulut ember alias suka bohong. Dia pasti serius, Tante." "Bilang aja kalau kamu sekarang lagi naksir dia! Nggak usah pakai alasan inacam-macam segala deh! Memang kamu itu cowok mata keranjang! Rakus!" Tante Cristy memukul wajah Brion dengan gulungan kertas koran. Brion menghindar dengan gesit. Gulungan koran itu dilemparkan ke wajah Brion seraya berseru membentak marah. "Pergi saja sana! Pergi temui dia sendiri sana!!" Brion mulai meredakan perlawanannya. Menurutnya, persoalan itu akan semakin meruncing dan berakibat fatal kalau ia harus melayani emosi Tante Cristy. Karenanya, meski pun ia dilempari dengan bantal, guling dan apa saja yang ada di dekat ranjang, ia tetap diam di tempat. Akhimya perempuan berkimono yang baru selesai mandi itu berhenti dari aksi lempar-lemparannya. Ia masih mengomel tak karuan sambil duduk di ranjang, menghadap ke cermin rias yang tepat ada di sisi kanan ranjang. "Aku muak sama kamu. Muak sekali sekarang ini! Sebaiknya kamu pergi saja dari hadapanku!" Brion diam tanpa sepatah kata jawaban. Tante Cristy berpaling menatapnya dengan sengit. "Kamu dengar perintahku tadi, Bri?! Kamu dengar?!" suaranya meninggi kembali. Brion hanya menarik napas panjang Tak mau memandang. Juga tak mau pergi. Beranjak dari tempat duduknya pun tidak. Tapi dalam hatinya, ia bicara dengan nada gerutu kejengkelan. "Perempuan ini kalau marah ngeselin banget! Cuma ada satu cara untuk meredakan kemarahannya. Aaahh... terpaksa kulakukan juga deh, meski sebenarnya aku masih capek sekali." Saat kebisuan melanda kamar itu, Brion pun bangkit dari tempat duduknya. Ia mendekati Tante Cristy yang tampak enggan menatapnya. Ia bukan duduk di samping perempuan itu, namun sengaja mengambil posisi berhadapan. "Mau apa kamu?!" hardik perempuan kaya itu. Brion memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Kaku, namun cukup membuat suasana sedikit kendur dari ketegangan tadi. "Jangan suka marah-marah begitu, nanti kecantikan Tante berkurang. Sayang sekali kalau kecantikan ini hilang karena seringnya Tante marah-marah." Seraya bilang begitu tangan Brion mengusap lengan Tante Cristy. Perempuan itu makin cemberut dan melengos. Brion tak peduli . "Daripada marah-marah cuma buang energi sia-sia, mendingan kita gunakan untuk yang bermanfaat aja, ya?" Tante Cristy masih diam. Masih melengos. Brion makin merayapkan tangannya ke leher Tante Cristy Sentuhannya dilakukan dengan punggung jari dan lembut sekali. Perempuan itu mengibaskan tangan Brion sambil mendesah seakan tak sudi disentuh. "Tante tahu, kalau Tante cemberut begini, hasrat saya jadi membara. Ingin menyusuri sekujur tubuh Tante dengan kehangatan bibir saya. Swear!" "Aku nggak butuh rayuanmu!" tegasnya sambil matanya membelalak galak. Tapi Brion membalas dengan senyuman makin lebar. Kemudian jari tangan Brion merayap hingga menyentuh betis perempuan itu. Toh tangan tersebut tidak dikibaskan oleh Tante Cristy Berarti perempuan itu menyukainya. Brion mendekatkan wajahnya ke dahi Tante Cristy. Tangannya masih merayap di betis, dan semakin lama semakin menuju ke paha. Ketika kening Tante Cristy tersentuh oleh kecupan bibir Brion, tangan itu sudah menyusup semakin dalam. ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== "Aku benci sama kamu!" geram Tante Cristy, tapi anehnya ciuman Brion dibiarkan merayapi batang hidungnya, lalu sampai ke bibirnya. Tante Cristy menyambar bibir itu dengan pagutan agak kasar. Brion melumatnya dengan lembut sambil membuat jari tangannya menari-nari. Perempuan itu akhirnya mendesah lemah. Tali pinggang kimononya dilepaskan. Dadanya terbentang mulus tanpa cacat sedikit pun. Brion semakin membungkuk, dan lidahnya menyusuri belahan dada. Tante Cristy makin mendesah panjang dan reaksinya mulai agresif. Tangannya meremas lengan Brion pertanda menahan deburan indah yang sedang dirasakan. Perempuan itu tanpa diperintah langsung membaringkan badan. Maka, Brion pun melakukan sesuatu yang sangat disukai Tante Cr isty. Malam pun dibiarkan bergulir dengan seribu kenikmatan yang menghujani tubuh sekalnya Tante Cristy. Dengan permainan asmara yang cukup dahsyat itu ternyata kemarahan Tante Cristy pun hilang. Yang muncul adalah perlawanan cinta semakin mengganas. Brion berhasil mengobati kemarahan Tante Cristy dengan menaburkan kenikmatan secara bertubi-tubi. Puncak-puncak kemesraan telah semakin mendamaikan hati mereka. Tetapi menjelang mereka berdua ingin lelap dalam tidur tengah malam, tiba-tiba sesuatu terjadi dan menimpa diri Tante Cristy. Diawali dengan rasa gatal di sekujur tubuh Tante Cristy, terutama bagian wajah, rasa gatal itu meningkat dan membuat perempuan tersebut menjadi kelabakan. Brion yang semula enggan untuk bangkit kini terpaksa harus menunda hasrat tidurnya. "Hahh ... ?! Tante... ?! Kenapa... wajah Tante begitu?! Ya, ampuun.!" Brion mulai panik. Tante Cristy mulai menangis. Wajah cantiknya seperti dicabik-cabik dengan pisau tajam. Goresan luka mengiris daging wajah dan mengucurkan darah. Kulit wajah mengelupas dengan sendirinya. Tante Cristy pun menjerit-jerit histeris, membuat Brion semakin bertambah panik. Peristiwa aneh itu sama dengan peristiwa yang dialami oleh Nyonya lvone. "Celaka! Mungkin bahaya inilahyang dimaksudkan Kumala! Aku harus segera menghubunginya. Ooh, mana tadi nomor HP-nya?" Brion tak marripu lagi mengendalikan emosi ketakutannya dan ketegangannya. (Oo-dwkz-234-oO) 4 TERLAMBAT Musibah yang merusak wajah itu terpaksa harus di alami oleh Tante Cristy. Kumala Dewi tidak bisa memulihkan wajah yang telah rusak seperti yang diderita Nyonya Ivone. Seandainya waktu itu Tante Cristy tidak mengutamakan kecemburuannya, seandainya saat itu ia dan Brion segera menemui Kumala, maka musibah misterius itu tidak akan menghancurkan kecantikan Tante Cristy. Kini setelah semuanya terjadi, Kumala Dewi hanya bisa memberi sedikit pertolongan pada Tante Cristy. Membuat luka itu kering, proses pengelupasan terhenti, dan warna wajah tidak hitam iagi, coklat tua. Namun tetap saja perempuan itu kehilangan nilai kecantikarinya Tak memiliki dayatarik lagi. Yang ada hanya seraut wajah menyeramkan dan kemungkinan besar akan ditakuti oleh orang banyak. Hati bidadari yang telah membaur dengan manusia itu tetap merasa sedih dan kecewa. Ia masih diliputi penasaran, karena kegagalannya mengobati luka aneh di wajah Tante Cristy. Peristiwa yang kedua kalinya itu telah membuatnya merasa semakin dipermainkan oleh suatu kekuatan gaib yang menggunakan racun udara. Menurut Kumala, Tante Cristy menjadi korban keganasan racun udara. Entah siapa yang memiliki racun udara itu, yang jelas pihak tersebut sedang bei'ada di Kepulauan Seribu juga. Kumala sulit melacak getaran gaib si pemilik racun udara. Repotnya, di depan Brion, di belakang Kumala, perempuan pengusaha jasa rekreasi itu memiliki persepsi lain. Dia menyangka musibah yang dideritanya itu berasal dari Kumala Dewi. ”Gadis itu mengguna-guna diriku, merusak kecantikanku, dan semua itu bertujuan untuk merebut dirimu dari pelukanku, Brion! Dia herpura-pura baik pada kita, padahal dia punya maksud keji dan licik di balik kepura-puraannya itu. Jauhi dia!" "Tante terlalu naif. Jangan berpandangan senegatif itu kepadanya. Dari raut muka dan penampilan kharismatiknya, saya yakin Kumala tidak punya niat sejahat dugaan Tante." "Mata batinmu sudah ditutup. dengan ilmu santetnya, sehinggakamu selalu membela dia, Brion! Kamu telah kena guna-guna ilmu peletnya, tahu?" geram Tante Cristy tetap tak mau kalah. "Manusia tak tahu diuntung!" hanya dalam hati Brion berani menggeram demikian. Ia bukan saja merasa tidak s impati lagi kepada perempuan itu, tapi juga merasa tak betah berlamalama bersamanya. Secara fisik Tante Cristy sama sekali sudah tak memiliki daya tarik. Kulit tubuh lainnya ikut kusam dan berkerut-kerut, sehingga tak dapat memancing gairah mesum bagi lawan jenisnya, seperti Brion. Hanya uangnya yang masih menarik perhatian lawan jenisnya, sehingga Brion masih raguragu untuk meninggalkan begitu saja. Tetapi agaknya pemuda itu mudah berubah pikiran Terbukti sewaktu Kumala Dewi dan keluarga Pramuda kembali ke Jakarta dengan menggunakan kapal wisata, pemuda itu ternyata juga ada di antara para penumpang kapal. Ia bertemu Kumala di sebuah dek dekat haluan. "Kenapa kau tinggalkan tantemu yang tersayang itu?" sindir Kumala dengan kesan berseloroh. Brion tersipu sendiri. "Dia memang perempuan yang tak tahu berterima kasih Aku kurang tertarik dengan perempuan seperti itu." "Karena wajahnya sudah tidak menarik tentunya." "Ah, nggak juga," Brion berusaha berkelit dari tuduhan nyata. "Yang jelas aku tidak mau dijadikan sasaran kemarahan dia terus-terusan. Jenuh juga bersama perempuan yang egois macam dia itu." "Apa dia tahu kalau kau ikut kapal ini?" "Nggak. Yang dia tahu, musibah yang dideritanya adalah akibat permainan santet dari kamu. Kamu dituduh merusak kecantikannya demi merebut diriku darinya. Brengsek kan itu namanya?!" Kumala hanya tersenyum kalem. Tak merasa tersinggung sedikitpun. "Wajar saja orang berpendapat begitu, karena rasa cemburu yang berlebihan. Kalau dia tahu yang sesungguhnya, dia tidak akan menyalahkan diriku dan tidak akan berpandangan seburuk itu terhadapku." Brion membatin, "Kenapa dia nggak marah, dan nggak merasa kesal mendengar kabar itu? Bijak sekali cara berpikirnya." "Percayalah, dia masih membutuhkan bantuanmu. Suatu saat dia pasti akan menghubungi kamu dan menanyakan diriku." "Maksudmu, Tante Cristy masih mengancam kamu dan irigin membuat suatu pembalasan, begitu?" Kumala menggeleng kalem "Dia akan datang padaku untuk minta tolong atas keburukan wajahnya itu. Dia akan menyadari bahwa semua itu bukan karena santet dariku, tapi karena suatu hal yang saat ini belum ia sadari " "Begitukah?" Brion diam sesaat kemudian berkata lagi, "Apakah menurutmu musibah kecantikannya itu disebabkan oleh polusi udara? Maksudku, polusi udara yang mengandung racun?" "Semacam itu. Tapi racun udara itu bukan berasal dari sebuah pabrik atau limbah, melainkan dari energi gaib alamlain " "Oh, begitu?! Kau tahu tentang dunia gaib, rupanya?" "Yaah, tahu sedikit," jawab Kumala merendah. "Wah, kalau begitu ternyata aku berhadapan dengan seorang paranormal nih. Benar begitu?" "Berhadapan dengan seorang teman, itu yang benar" Kumala menyunggingkan senyum manis. Brion terpesona dalam hatinya. Tapi sayang sekali senyuman indah itu cepat berlalu, karena tiba-tiba perhatian Kumala tertuju pada seorang wanita muda yang sedang berdiri di pinggiran dek bersama kekasihnya. Ia tak mengenal kedua orang itu, tapi ia buru-buru menghampiri dengan kesan mencurigakan bagi Brion. Bahkan, Brion pun mengikuti langkah Kumala. Temyata pria muda yang bersama gadis itu adalah kenalan Brion. Dia seorang anggota kelompok musik yang sering menghibur di cafe tak jauh dari cottage-nya Tante Cristy. "Kamu kenal sama John, Kumala?" bisik Brion. "John...? Yang mana?" "Cowok yang mau kamu dekati itu. Dia kenalanku." "Oh, kalau begitu... kebetulan sekali. Kenalin aku dengan dia." "Tapi dia kan udah punya pacar, Kumala," bisik Brion sambil memperlambat langkah. "Aku mau bicara dengan ceweknya, bukan dengan cowoknya itu." Brion menyapa John lebih dulu. Tegur sapa itu terkesan ramah dan bersahabat. Kemudian Brion memperkenalkan Kumala kepada mereka. Gadis yang ingin dihampiri Kumala itu bernama Chevi. Kumala langsung saja mengakrabkan diri dengan Chevi, yang memiliki kecantikan dan postur tubuh selayaknya seorang top model. Chevi sedikit kaget mendengar kata-kata Kumala. Pandangan matanya yang berbulu lentik itu terkesan menyimpan kecurigaan terhadap kehadiran Kumala Dewi yang menurutnya bicara aneh itu. "Aku ingin bicara berdua, empat mata denganmu. Kira-kira kamu bersedia nggak, Cha?" "Empat mata?! Memangnya ada apa sih?" "Tidak. Cuma urusan wanita kok. Tapi nantinya John dan Brion juga boleh tahu. Hmmm, kita bicara di bawah tiang sana yuk?" Setelah dipertimbangkan secara singkat, Chevi akhirnya menerima ajakan itu. Ia ingin menolak, tapi sulit sekali mulutnya mengatakan penolakannya. Mungkin Kumala telah mempengaruhi jiwanya sehingga Chevi sulit menolak. Hanya bisa patuh dan menurut saja apa kata Kumala. Gadis keturunan bidadari itu sering berbuat demikian demi kebaikan seseorang yang ingin diselamatkan dari bahaya. Sementara Kumala dan Chevi menjauh, John dan Brion memandanginya dengan perasaan heran. John sempat bertanya kepada Brion tentang siapa Kumala Dewi itu, tapi penjelasan Brion biasa-biasa saja. Brion belum mengatakan bahwa Kumala punya kekuatan istimewa semacam seorang paranormal. Kini mereka berdua hanya bisa memandangi dari tempat mereka berdiri. "Sorry, aku bukan bermaksud sok tahu, Cha. Aku hanya ingin tahu tentang sesuatu yang mungkin kau ketahui." "Soal s i John, maksudmu7" "Bukan Kalau soal itu, kurasa urusan pribadimu deh. Aku nggak perlu tahu. Yang ingin kuketahui, apakah kau pernah merasa hawa aneh sebelum berada di kapal ini?" "Hawa aneh macam apa sih?' kerutan dahi Chevi semakin kuat. "Udara aneh maksudku. Udara panas, udara dingin, udara lembab, atau angin yang menerpamu kurang enak di badan. Mungkin juga kamu merasakan diterpa angin yang aneh dihirup di paru-parumu?" Chevi tertawa sinis. Terkesan menganggap konyol pertanyaan itu. Kumala Dewi bersikap sabar dan tetap dalam keramahannya yang anggun. "Aku memaklumi kalau sikapmu begitu, Cha Tapi ini menyangkut nasib kecantikkanmu. Terus terang, aku melihat auramu buram, seperti mengandung racun udara. Kamu sudah terkontaminasi oleh racun udara itu dan akan merusak kecantikanrnu, cepat atau lambat." "Kau ini bicara-apa .sebenarnya, Kumala?" Chevi semakin menyepelekan kata-kata Dewi Ular. Dengan tetap sabar Kumala menceritakan musibah kecantikan yang dialami Tante Cristy, juga sedikit cerita tentang kecantikan Nyonya Ivone yang sampai sekarang masih belum dapat dipulihkan seperti sediakala Cerita itu menimbulkan kecemasan kecil di hati Chevi. Kecemas- an itu memancing rasa ingin tahu dalam keragu-raguannya, sehingga Chevi merasa perlu menanyakan kebenarannya kepada Brion. Mau tak mau kedua gadis itu akhimya bergabung lagi dengan John dan Brion. "Apa yang dikatakan dia memang benar," kata Brion kepada John dan Chevi. "Aku melihat sendiri keadaan Tante Cristy, dan sangat mengerikan. Seandainya kalian." Brion tak jadi menyelesaikan kata-katanya. Ada sesuatu yang lebih menarik perhatiannya pada saat itu Rupanya, rencana busuknya kabur dari sisi Tante Cristy sudah tercium oleh naluri perempuan itu. Dalam perhitungan Tante Cristy, Brion akan pergi bersamaan jadwal kapal yang berangkat ke Jakarta siang itu. Dugaan dan perhitungan itu cukup tepat. Maka, diam-diam Tante Cristy pun menyusup di antara para penumpang kapal dengan pakain serba hitam, mengenakan topi lebar bercadar hitarn pula. Setelah kapal itu mencapai separoh perjalanannya, Tante Cristy akhimya menemukan Brion di samping Kumala, John dan Chevi. Kemunculan Tante Cristy sangat mengejutkan hati Brion, sehingga Brion menjadi gelagapan dan tak tahu harus berbuat bagaimana saat itu. "Manusia laknat kau ini, Brion!" geram Tante Cristy dalam keadaan wajah masih tertutup cadar yang menyatu dengan topinya Cadar berwarna hitam menyerupai jaring kecil itu segera disingkapkan. Brion semakin menggeragap dan salah tingkah. Tapi Chevi dan John sangat terkejut. Bahkan menjadi takut. Mereka ngeri melihat wajah Tante Cristy yang sangat menyeramkan sekaligus menjijikkan itu. "Biadab..." geramnya semakin dalam. Tante Cristy yang merasa dikhianati oleh Brion segera menyerang dengan kedua tanganya. Ia hendak mendorong Brion agar terjungkal ke laut. Tetapi Brion bertahan dan suasana menjadi tegang. Kekacauan terjadi karena teriakan marah Tanta Cristy berbaur dengan seruan Brion atas pembelaan dirinya. Beberapa penumpang kapal segera memusatkan perhatiannya ke arah mereka. Dua petugas keamanan kapal itu bergegas menghampiri. Tapi sebelum keduanya bertindak keributan sudah berhasil dihentikan oleh Kumala Dewi. Gadis cantik jelita yang dari tadi menjadi pusat incaran mata kaum lelaki itu ternyata dengan mudah melerai pertengkaran tersebut. "Hentikan!" Hanya dengan satu bentakan lembut seperti itu, maka Tante Cristy dan Brion sama-sama menghentikan aksinya. Suara Kumala Dewi seperti petir yang menyambar hati mereka Seperti halilintar yang menggelegar ke dalam sanubari mereka. Tak satu pun dari mereka berani melanjutkan aksinya. Bahkan beberapa orang yang berada di sekeliling mereka merasa seperti kehilangan seluruh kebeianiannya untuk berbuat sesuatu. Rasa takut mencekam kuat di sanubari mereka. Takut yang penuh rasa hormat. Dan, hanya kekuatan gaib dewani saja yang dapat mengeluarkan suara seperti itu. Gelombang suara tersebut seolah-olah meruntuhkan seluruh kekuatan batinpihak yang mendengamya dalam radius sekitar lima meter. "Maaf, Tante... persoalan yang Tante hadapi tidak cukup diselesaikan dengan memusuhi Brion saja. Harus ada jalan keluar lain. Lebih baik Tante ikut saran saya demi ketenangan batin Tante sendiri. Paham, ya?" "Ya," jawabnya lirih sekali sambil menunduk. ”Terserah kamu saja," seraya menutupkan kembali cadar yang tadi disingkapkan. "Ada apa, Kumala?" Pramuda menghampiri "Nggak ada apa-apa. Bisa kuatasi." "Tapi perempuan itu..." "Ya. Dia korban seperti Nyonya Ivone juga " "Kasihan," Emafie, istri Pramuda menggumam sedih sambil menyeringai ngeri la sendiri cemas kalau-kalau dirinya akan mengalami nasib seperti itu. Emafie memang mantan top model, wajar jika ia sangat mengkhawatiikan kecantikannya Ketika mengetahui bahwa Chevi juga akan mengalami hal serupa, Emafie berkasak-kusuk dengan Chevi. Meyakinkan bahwa apa yang dikatakan Kumala Dewi adalah benar. Bahkan Emafie menyarankan agar Chevi segera memohon perlindungan Kumala agar kecantikannya tidak mengalami musibah seperti itu "Kalau memang benar aku terancam begitu, tolong lakukan sesuatu untuk menyelamatkan wajahku, Kumala," Chevi memohon dengan bayang-bayang kecemasan membias di wajahnya. Jawaban yang diterimanya hanya seulas senyum manis penuh persahabatan. Kumala Dewi segera membawa Chevi ke bagian buritan kapal. Di sana suasananya tidak seramai di bagian lain. Hanya ada dua pasangan muda-mudi yang sedang menikmati keindahan buih laut yang dibelah lajunya kapal tersebut. Tapi keberadaan Kumala dan Chevi tak luput dari perhatian Brion, John, Emafie, Pramuda dan Prasetya bersama istrinya. Mak Bariah pun memperhatikan dari sisi lain sambil menjaga anaknya Pramuda. Angin laut berhembus menaburkan helai-helai rambut indahnya Dewi Ular, juga membuat gaun yang dikenakan Chevi berkibar bagaikan bendera alam model. Mereka berdua berdiri berhadapan dalam jarak sekitar satu meter. Mereka saling diam tanpa bicara, saling memandang dengan mata menyipit. menahan hembusan angin. "Sebentar." tiba-tiba Chevi melakukan pencegahan. Kumala membiarkan Chevi menggaruk keningnya. Kemudian mengambil posisi bersiaga kembali. Ketika tangan Kumala hendak diangkat, Chevi memecah kebisuan kembali. "Tunggu, tunggu.." Dia menggaruk-garuk rahang kirinya. "Sorry..." Kumala urung mengangkal tangannya. Menatap dengan sedikit kerutan heran di dahinya Belum sempat Kumala melakukan sesuatu, Chevi kembali menggaruk dagunya. Hal itu menimbulkan kecurigaan di hati Kumala Dewi. "Ada apa? Gatal?" "He, eh! Sekarang udah nggak kok. Okey, bisa dilanjutkan," katanya Tapi ternyata belum lima detik berhenti bicara Chevi sudah menggaruk pipinya dengan suara desah keluhan. "Aduh, kok mukaku jadi gatal sekali sih?!" Ia menggaruk lebih lama dari sebelumnya. Kumala Dewi mulai semakin curiga dan memahami keadaan yang akan terjadi nanti. "Aduh, aduh kok gatalnya jadi banyak begini s ih?!" "Dia telah bereaksi, rupanya!" gumarn hati Kumala Dewi melihat Chevi bertambah kebingungan menghadapi rasa gatal di wajah, juga di kedua lengannya yang perlu digaruk secara bergantian. "Hentikan garukan tanganmu, Che." "Nggak tahan nih !" Chevi semakin kebingungan. Brion dan John bergegas menghampiri dengan menyimpan kecemasan tersendiri. "Racun itu mulai bereaksi. Kalau kau garuk terus, kau bisa terluka dan menjadi seperti Tante Cristy tadi!" "Terus, gimana ini dong?! Auuh, gatal banget, Kumala!" Chevi taiupak semakin panik danketakutan. Kumala menggerakkan tangan kirinya dengan cepat, seperti ingin menampar Chevi dengan dua jari ke arah pelipis. Bersamaan dengan itu tangan kanannya pun bergerak serupa ke arah pelipis Chevi. Namun kedua tangannya itu tak sampai menyentuh pelipis Chevi. Dari kedua tangan yang memiliki dua jari mengejang lurus itu terpancar percikan bunga api berwarna hijau. Menyerupai lompatan arus listrik yang mengisi pelipis Chevi, Mereka; yang berada dalam jarak dekat dengannya dapat melihat percikan cahaya hijau itu. "Auhk... !" Chevi tersentak dengan tubuh kaku. Mengejang dalam keadaan seperti ingin tumbang ke belakang. Mulutnya ternganga dan matanya terbelalak lebar. Pada saat itu tubuh Chevi segera diliputi kabut hijau samar-samar. Kabut yang ditimbulkan dari percikan hawa saktinya Dewi Ular itu memiliki percikan lain berwarna orange. Percikan itu berlarian mengelilingi sekujur tubuh Chevi. Menimbuikan suara gaduh hampir mirip petasan kecil berhamburan. Chevi sendiri menyerupai patung yang tak dapat tumbang oleh gerakan kapal maupun hembusan angin kencang. "Daaar..." Terdengar suara ledakan cukup keras yang memancing perhatian hampir sebagian besar penumpang kapal itu. Sepasang muda-mudi yang tadi berada tak jauh dari situ segera berlari menjauh setelah ketakutan melihat keanehan yang dialami Chevi tadi. "Celaka! Diapakan pacar gue itu, Bri?! Waaah... " "Ssst...! Tunggu. Diamkan dulu!" sambar Brion seraya mencekal pundak John yang tampak sangat mengkhawatirkan keselamatan Chevi. Brion sendiri juga sangat tegang karena ledakan tadi menimbulkan semburan cahaya yang menyerang dada Kumala Dewi. Tapi dengan sigap Kumala seperti menangkap cahaya merah yang ingin menghantam dadanya. Teep... ! Tangan Kumala menggenggam cahaya merah dari kumpulan percikan sinar orange tadi. Kini ia melempaikan cahaya merah itu ke tengah lautan. Wut...! Semua orang memandang dengan mulut terbengong. Karena, cahaya merah itu melesat sangat jauh, seperti ditembakkan dari laras meriam. Dan, anehnya, semakin jauh semakin tampak besar seperti bola api. Chevi sendiri segera tumbang. Pingsan di kaki Kumala dalam keadaan sudah tanpa kabut hijau dan tanpa cahaya apa-apa lagi. Perhatian John memang semula tertuju pada Chevi, tapi kemudian ikut memandang cahaya merah yang menyerupai bola api itu. Karena, ketika cahaya itu jatuh ke permukaan laut, ia menyerupai bom yang memiliki daya ledak cukup dahsyat. Blegaaaarrr... ! Air laut seperti hendak terbelah Ombaknya menjulang tinggi. Terbagi menjadi beberapa tempat, dan laju kapal pesiar itu pun mengalami gangguan yang sangat mengkhawatirkan semua penumpangnya. Badai lautan datang akibat dentuman besar tadi. Kapal terombang-ambing, bagaikan kehilangan kemudinya. Mesin kapal sendiri mengalami gangguan yang merepotkan seluruh awak kapal. Posisi kapal mulai miring ke kiri dan terseret hembusan badai ke kiri. Jeritan kepanikan para penumpangnya terjadi di sana-sini. Suasana panik pun sangat mencekam mereka. Hanya Pramuda, Prasetya dan keluarganya yang bisa sedikit tenang menghadapi keganjilan alam tersebut, karena mereka sudah terbiasa menghadapi hal seperti itu. Brion dan John sendiri ikut panik karena John sempat terlempar ke arah kiri, nyaris tercebur ke laut. "Bawa dia ke kabin!" seru Kumala kepada Brion yang baru saja membantu menahan tangan John hingga John tak jadi terlempar ke lautan. Kumala Dewi segera melompati tubuh Chevi dan berusaha berdiri di ujung haluan. Chevi segera diangkat oleh John dan Brion, sementara Kumala Dewi merentangkan kedua tangannya. Dalam hitungan ke sepuluh badai pun reda dengan sendirinya. Semua orang tahu, gadis cantik di ujung haluan itulah yang meredakan amukan badai tadi. Semua orang memandang kagum dan terheran-heran melihat air laut tenang kembali. Ombaknya normal lagi, dan laju kapal itu pun kembali seperti semula. Tetapi buat sang Dewi Ular pandangan kagum mereka tak digubrisnya, karena ia menangkap adanya sesuatu yang lebih pantas mendapat perhatian darinya. Tempat di mana bola api tadi jatuh mengalami perubahan yang cukup mengkhawatirkan. Di sana muncul pusaran air yang membuat ombak setempat makin lama semakin tinggi. Bahkan lingkar pusaran air itu tampak semakin melebar, sehingga dipastikan dapat menyedot kapal mana pun yang lewat di dekatnya. Kecepatan putaran air itu pun menimbulkan gemuruh yang sangat menakutkan. Pelebaran lingkar putarnya hampir menyusul kecepatan laju kapal pesiar tersebut. "Pusaran air menyerang kita, Kumala!" seru Pramuda dari dek kanan sambil berpegangan besi pagar dek tersebut Wajahnya tampak tegang. Rupanya ia tahu persis akan datangnya bahaya kedua. "Pram, suruh mereka menjauhi sisi kanan kapal! Jangan ada yang di dek kanan!" seru Kumala Dewi. Suaranya memang merdu, namun mengandung getaran aneh yang meluluhkan hati sekeras apapun. Dengan demikian maka siapa pun yang mendengamya, tanpa harus disuruh oleh Pramuda sudah bergerak ke arah lain. Mencari tempat berlindung dengan sendirinya. Hanya Kumala Dewi yang tampak berlari-lari kecil menuju ke dek samping kanan, mengambil posisi di pertengahan lambung kapal la menunggu sesuatu dari gerakan air yang berputar mendekati kapal tersebut; la merasa bertanggung jawab atas seluruh keselamatan para awak kapal, sehingga harus berjaga-jaga menghadapi bahaya yang akan datang la hadapi semuanya dengan sendirian. Beberapa detik setelah berdiri di tempatnya, Dewi Ular tampak melemparkan sesuatu dari genggaman tangannya Seett ! Seperti sinar hijau tapi berbentuk anak panah berbintik-bintik. Energi kesaktiannya itu begitu menyentuh permukaan air, maka seluruh air laut berubah menjadi hijau bening seperti agar-agar. Gerakan air yang berputar menjadi lambat. Radius putaran pusar air itu pun menyempit secara bertahap. Laju kapal mulai normal lagi. Tak terlalu cepat, namun tak mengalami gangguan yang mencemaskan. "Siapa gadis itu sebenarnya?!" gumam beberapa orang yang belum mengenal Kumala "Dia punya kekuatan sihir yang sungguh mengagumkan." "Luarbiasa, memang. Lihat. Dia tenang sekali dari tadi. Cuma dia yang sejak tadi kelihatan nggak panik sedikitpun." "Aku yakin dia bukan anak manusia biasa." "Ya, aku juga yakin. Dia pasti bukan gadis biasa ." "Cantiknya seperti bidadari, ya?". "Jangan-jangan dia memang bidadari yang turun dari Kahyangan?" "Ah, ngaco aja luh!" "Hey, lihat itu, lihat, air laut jadi datar sekali?!" "Busyet! Kita seperti berada di genangan agar-agar. Kapal ini seperti membelah permukaan agar-agar?!" "Warnanya jadi bagus sekali. Hijau bening. Iih... benarbenar suatu fenomena yang sulit dipahami dengan logika, ya?!" "Tapi langit kenapa jadi mendung, ya?" Beberapa orang mendongak ke atas. "Wah, iya ... ! Dari mana datangnya mendung setebal itu?! Tadi kayaknya nggak ada awan hitam” Memang serba mengherankan. Langit tiba-tiba dilapisi awan hitam.. Tebal dan bergulung-gulung. Matahari nyaris kerepotan menembus gumpalan awan hitam itu dengan cahayanya yang tadi masih terang benderang. Anehnya lagi, mendung itu makin lama makin melebar. Nyaris menutupi semua permukaan langit yang teijangkau dalam jarak pandang mereka di tengah lautan. Kumala Dewi ikut memandang ke langit. Dia tetap tenang. Tapi dia punya perhitungan sendiri tentang mendung aneh tersebut. Pramuda yang menghampirinya sempat menyatakan kecemasannya tentang mendung aneh tadi Tapi Kumala menanggapi dengan kalem. "Nggak apa-apa. Semua akan kuhadapi." "Ada apa sebenarnya?" "Pemilik racun yang tadi kukeluarkan dari raganya Chevi akan bikin perhitungan sendiri denganku. Dia tahu kalau racunnya telah kuhancurkan. Dia marah. Pasti dia akan muncul dari gumpalan mendung itu untuk menyerangku " "Lalu, kapal ini bagaimana kalau kau diserang?" "Aku akan tinggalkan kapal ini untuk sementara, supaya tidak menjadi korban salah sasaran." "Terus, jiwa-jiwa di sini bagaimana kalau kau tinggalkan?" "Justru akan selamat. Jangan khawatir. Aku hanya mengalihkan perhatian si pemilik racun iblis itu agar tidak merusak kapal ini!" Kumala Dewi tidak mau pamer kekuatan di depan umum. Dia masuk ke salah satu kabin. Pintu kabin ditutupnya. Tapi ketika kapten kapal menyusulnya masuk ingin bicara dengannya, ternyata di dalam kabin itu tidak ada siapa-siapa. Kabin dalam keadaan kosong. Kapten kapal itu kebingungan. Ia tak tahu bahwa Kumala Dewi telah berubah menjadi cahaya hijau kecil seperti seekor naga yang meleset menembus dinding dan lenyap ke ketinggian langit sana. Nyaris tidak seorang pun yang mengetahui lenyapnya seberkas sinar hijau menyerupai naga kecil itu, kecuali Mak Bariah, Brion, dan Tante Cristy yang berada di antara kerumunan orang. Matanya secara kebetulan melihat kilatan cahaya yang keluar dari dinding kabin, menyerupai naga kecil berwarna hijau. Tapi Tante Cristy tidak tahu bahwa itulah sosok penjelmaan dari si Dewi Ular yang sedang menggunakan tingkat kesaktiannya sebagai anak Dewa. Chevi siuman. Ia bingung mengapa ada di antara orang banyak. Ia tidak merasakan gatal-gatal lagi. Malahan mengaku merasa sehat dan badannya lebih segar dari sebelumnya. John menjelaskan keanehan yang tadi terjadi, sehingga ingatan Chevi mulai kembali tentang apa yang dialami dan apa yang dilakukan Kumala sebelum ia jatuh pingsan tadi. "Sekarang di mana dia? Di mana Kumala?" "Entah," hanya'itu jawaban John. Brion juga diam Dia hanya memandang ke arah langit kembali. Sepertinya lidah Brion sulit untuk menjelaskan bahwa ia menduga Kumala berubah menjadi sinar hijau yang sekarang sedang melesat ke arah langit, menembus ketebalan awan hitam. Dugaan hati kecil Brion semakin kuat, karena langit segera bergemuruh. Awan hitam semakin bergulung-gulung dengan sesekali mengeluarkan percikan cahaya petir yang menggelegar berkali-kali. Hanya Mak Bariah yang tahu persis tentang apa yang terjadi di langit hitam sana. Karena pada saat ia berada di samping Pramuda, ia sempat berbisik dengan suara lemah. "Terjadi pertarungan keras di atas sana, ya Tuan?" "Kurasa... ya, dia memang, nggak pernah tanggungtanggung kalau memberesi lawannya" "Duuuh, gimana nasib Non Mala, ya? Dia cuma sendirian di atas sana, Tuan. Melihat mendung begitu hitam, sepertinya Non Mala berhadapan dengan lawan yang tidak ringan. Mungkin lebih dari satu". "Moga-moga dia masih bisa selamat," bisik Pramuda penuh kecemasan. (Oo-dwkz-234-oO) 5 BUKAN hanya Tante Cristy, Nyonya Ivone atau Chevi saja yang dilanda racun kecantikan. Ternyata banyak wanita lainnya yang mengalami nasib serupa. Kecantikannya hancur dan daya tariknya pun hilang. Mereka yang semula cantik menarik, kini berubah menjadi buruk dan mengerikan. Sebagian orang mengatakan, para korban kini memiliki wajah yang menjijikkan. Hitam, penuh luka, dan berbau busuk. Umumnya bagi mereka yang tidak tertolong oleh hawa saktinya Kumala Dewi memiliki aroma kebusukan yang memualkan perut. Dua di antara para korban sampai ada yang bunuh diri karena mengalami tingkat stress sangat tinggi. "Untung saya nggak punya wajah cantik, jadi saya nggak ikut rusak kayak mereka," ujar seorang pelayan tetangga rumah Kumala. Dan, memang demikian keadaannya. Para wanita yang wajahnya tidak secantik foto model memang patut merasa bersyukur, sebab wajahnya tidak ikut rusak seperti para korban lainnya. Agaknya racun kecantikan itu hanya mengincar para wanita yang memang memiliki raut muka cantik, menarik dan menggiurkan lawan jenisnya. "Aku ingin ketemu Kumala. Mana dia? Ada di rumah?" desak seorang gadis berusia sekitar 27 tahun berwajah cantik. http//zheraf.mywapblog.com Rambutnya yang panjang disemir pirang sehingga penampilan dan wajahnya itu mengingatkan seorang artis penyanyi bule Jessica Simpson. Dan, kebetulan nama gadis itu adalah Jessica, tanpa Simpson. Dia berani mendesak begitu karena sudah lama kenal keluarga Kumala. Dia ditemukan oleh Buron dalam sebuah rumah ketika hendak melakukan bunuh diri akibat patah hati. Oleh sebab itu, ia memang . terkesan lebih akrab dengan Buron ketimbang dengan yang lainnya, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "GADIS PENUNGGU JENAZAH"). "Kenapa kamu cari Kumala? Kenapa nggak cari aku saja?" Buron masih berusaha menggoda dengan canda yang bersahabat. Jessica tampak tegang dan tak terpengaruh oleh candanya sijelmaan JinLayon itu. Ia bergegas masuk ke ruang tamu, meninggalkan Buron di teras. "Aku butuh pertolongannya. Aku harus ketemu dia sekarang juga!" "Hey, hey... tunggu dulu," Buron segera mencegahnya. "Apa kau bisa melakukannya, Buron?! Kau tahu kan, sekarang sedang tersebar wabah perusak kecantikan dan .." "Sudah banyak yang datang kemari," potong Bui on. "Tapi mereka terpaksa harus pulang dengan kecewa." "Kenapa? Apakah Kumala nggak ada di rumah?" cecarnya. "Kulihat mobilnya ada di garasi. Sandhi lagi nyuci mobil di sana kan?" "Kumala memang baru saja pulang dari berlibur. Baru kemarin sore dia tiba. Tapi sekarang pun dia belum bisa diganggu. Maksudku, dia belum bisa ditemui siapa-siapa." "Masa' tamu seperti aku nggak diterima? Aku kan udah lama kenal dengan kalian? Gimana sih?!" "Benar, tapi... hmmm, sini... duduklah dulu. Duduk dulu." "Keadaannya sangat..." "Akan kujelaskan keadaan yang sebenarnya!" sahut Buron seraya sedikit menarik lengan Jessica. Bagi gadis cantik itu, pegangan tangan Buron ke lengannya bukan sesuatu yang tidak sopan. Ia tidak merasa tersinggung mengingat nyawanya dulu pernah diselamatkan oleh Buron. Oleh sebab itu ia menganggap Buron adalah teman dekatnya sendiri yang tidak perlu basa-basi dalam etika pergaulan mereka. "Kumala sedang sakit, Jess. Dia belum bisa terima tamu" "Sakit?! Sakit apa?!" Jessica tampak cemas. "Entahlah. Yang jelas, dia melarang kami masuk kamarnya." "Apakah dia juga mengalami musibah kecantikan, seperti yang di alami oleh dua rekanku dan kakakku sendiri, Luiza?" Buron berkerut dahi agak tajam. "Kakakmu juga kena?" "Justru aku kemari karena Luiza mengalamri kejadian seperti yang dialami oleh dua rekanku. Seorang tetangga kami juga menderita gatal-gatal di wajahnya dan kini wajahnya rusak mengerikan. Kakakku sudah memiliki tanda-tanda seperti itu; wajahnya mulai memerah dan berbintik-bintik seperti gejala cacar. Gatal dan panas rasanya. Makanya aku kemari mau minta tolong Kumala untuk obati kakakku dan... dan melindungi kecantikanku dengan kesaktiannya. Aku nggak ingin kehilangan kecantikanku, Buron. Aku takut mengalami hal serupa dengan yang lain. Bukankah di teve dan di korankoran sudah diberitakan bahwa Jakarta sedang dilanda wabah kecantikan yang..." "Ya, ya... kita semua tahu, Jess. Kita tahu!" potong Buron menahan diri untuk tetap sabar menghadapi kata-kata Jessica yang bersifat memberondong seperti senapan mesin itu. "Aku takut sekali, Buron. Takut sekali...!" "Kau bisa tinggal di sini untuk sementara, supaya racun kecantikan itu tidak menghampirimu dan merusak wajahmu." "Tapi bagaimana dengan kakakku?! Dua jam yang lalu dia sudah kebingungan karena wajahnya merah dan gatal." Buron menarik napas. Bingung juga menghadapinya. Kumala Dewi memang sakit Sejak pulang dari kepulauan Seribu ia mengurung diri di dalam kamarnya. Buron dan Sandhi sempat terkejut ketika menyambut kepulangan Kumala. Gadis cantik itu menderita luka yang menyedihkan. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka sayatan. Seperti habis disayat-sayat dengan seribu pedang. Kecantikannya pun rusak. Namun ia tidak mengalami kehangusan kulit seperti yang lain. Ia tetap putih kulitnya. Hanya penuh luka sayatan yang tidak mengeluarkan darah. Raut wajahnya hancur bagaikan dicabik-cabik dengan seribu mata silet. Hampir saja Buron dan Sandhi tak mengenalinya. Luka itu tak mengeluarkan bau busuk seperti para korban lainnya. Hanya saja, jelas wajah itu sudah tak sedap lagi di pandang mata. Sudah tidak mempesona seperti biasanya. Kasihan. Konon, luka-luka yang merusak kecantikannya itu akibat pertarungannya di balik awan hitam. Dalam cerita singkatnya Kumala mengatakan, di balik-awan hitam ada ratusan ribu cahaya merah menyerupai kunang-kunang. Cahaya merah itu memiliki ketajaman yang luar biasa. Ketika menyerang Kumala, ia merasa dihujani ribuan mata pisau yang sulit dipatahkan. Cahaya-cahaya merah mirip kunang-kunang itu bisa beterbangan dengan gesit dan lincah. Satu dihancurkan, seratus tumbuh kembali. Kumala terpaksa melarikan diri dari pertarungan tak seimbang itu. Jika tidak, ia yakin tubuhnya akan terpotong-potong oleh ketajaman cahaya-cahaya merah kecil itu. Seandainya ia bukan anak Dewa yang memiliki kesaktian tersendirt, mungkin ia sudah hancur sejak kemarin. Lukanya pun akan mengalami kebusukan seperti korban yang lain. Tapi karena dari tubuh anak Dewa itu memiliki aroma keharuman tersendiri, ditambah berbagai energi kesaktianyang luar biasa, maka ia tak mengalami pembusukan dan tak sampai hangus kulitnya. Yang ia rasakan hanya rasa perih luar biasa di sekujur tubuh dengan luka tanda merah. Luka sayatan itu menjadi lebih perih lagi apabila terkena udara atau angin. Oleh sebab itu, AC di kamarnya dimatikan. "Jangan ada yang menemuiku dulu sebelum aku keluar sendiri dari kamar. Aku harus mengobati diriku lebih dulu agar aku bisa menangkal wabah racun kecantikan itu," pesannya kepada Buron, Sandhi dan yang lain. Waktu itu Pramuda sekeluarga ikut mengantarnya sampai rumah, sehingga mereka pun mendengar pesan tersebut. Kini Pramuda sudah pulang. Penjagaan diserahkan kepada Sandhi, Buron dan Mak Bariah. Itulah sebabnya Kumala menolak beberapa tamu yang dari kemarin sudah datang. Buron dan Sandhi yang bertugas menolak tamu dengan memberi penjelasan sebisa mungkin. Pada umumnya para tamu menyadari atas keadaan Kumala. Tapi Jessica terkesan ngotot ingin segera kasusnya ditangani oleh Kumala. Buron agak kewalahan memberi penjelasan pada gadis cantik itu. la tahu, sebentar lagi pasti kecantikan Jessica juga akan menjadi korban seperti yang lain. "Kusarankan sebaiknya kau jangan pulang," kata Sandhi kepada Jessica. "Sebab, barusan kuterima telepon dari Sersan Burhan, ada tiga mayat yang menjadi korban racun kecantikan. Mereka menggaruk wajahnya secara kesetanan, sampai akhirnya mereka mati dalam keadaan kulit wajahnya terkelupas." "Ohh...??" "Seorang mati terkelupas wajahnya akibat jatuh dari lantai empat di kantornya. Seorang lagi tak sengaja tersengat aliran listrik karena kebingungan menggaruk rasa gatalnya, dan seorang lagi tewas dalam kecelakaan mobil akibat panik menggaruk wajahnya secara membabibuta." "Rasa gatal itu mempengaruhi jiwa seseorang hingga lupa bahaya di sekelilingnya," tambah Buron dengan nada suara yang datar, seakan ia bicara pada diri sendiri sambil dalam keadaan melamun. Hal itu semakin menegangkan hati Jess ica. Yang terpikir olehnya adalah keadaan kakaknya; Luiza. Ia bermaksud ingin pulang mendampingi kakaknya, tapi Sandhi dan Buron berusaha mencegahnya. "Angin dapat menjadi penghantar maut bagi wanita cantik sepertimu. Dalam perjalananmu dari sini sampai ke rumah bisa saja racun itu hinggap di wajahmu dan menyerangmu. Jadi, lebih baik kau tetap di sini saja." "Kakakku bagaimana dong?!" "Suruh aja dia datang kemari. Suruh suaminya yang mengantar," kata Buron tegas-tegas. "Suaminya sedang dinas di Kalimantan. Sudah seminggu ini." Sandhi melirik Buron. Lirikan mata Sandhi mengandung arti yang dapat dipahami Buron secepatnya. Pemuda berambut kucai itu akhirnya menganggukkan kapala. "Okey-lah... biar aku yang jemput dia!" katanya setelah menarik napas dalam-dalam. Buron juga kenal baik dengan Luiza, terutama sejak ia menyelamatkan nyawa Jessica dulu. Bukan hal sulit bagi Buron untuk menemui Luiza walau pun ia menggunakan jalur gaibnya. Tiba-tiba jasadnya menghilang dari pandangan mata Sandhi dan Jessica. Lenyap dan berubah menjadi sinar kuning kecil seperti meteor. Bleass. .! Sinar itu menembus dinding dan melesat entah ke mana. Yang jelas, punya misi membawa Luiza dari tempat tinggalnya ke rumah Kumala. (Oo-dwkz-234-oO) Telepon berdering nyaris tiada putus-putusnya. Sandhi yang bertugas menerima telepon dari siapa saja Umumnya mereka adalah kenalannya Kumala yang terancam racun kecantikan, yang cemas akan dirinya, dan yang sudah mulai mengalami gejala gatal gatal di tubuhnya Bahkan ada yang menangis di telepon karena sekujur tubuhnya telah mengalami luka aneh, terutama di bagian wajahnya. Hampir pukul delapan malam, Sandhi dan Jessica yang ada di ruang tengah mendengar pintu kamar Kumala dibuka. Klik... ! Secepatnya mereka memandang ke arah sana. Temyata gadis cantik dari Kahyangan itu muncul dengan wajah masih tak seperti semula. "Kumala ... ?! Bagaimana?!" sergah Sandhi buru-buru menghampiri dengan pandangan mata masih penuh kecemasan. "Lumayan," jawab Kumala dengan tenang sekali. "Oh, kau datang juga rupanya, Jess?" "Hmm, iya... iya. Aku... aku takut mengalami kerusakan wajah seperti kakakku; Luiza. Tapi... wajahmu sendiri kenapa begini, Kumala? Apakah kau belum bisa menemukan penangkal racun itu?" Meditasi yang dilakukan Kumala memang tidak sia-sia sekali. Ada hasilnya. Tapi tidak sempurna. Luka sayatan di sekujur tubuh dan wajah Kumala sudah tidak menimbulkan rasa perih seperti semula. Tapi luka itu masih membekas hitam. Wajah cantiknya si Dewi Ular kini penuh garis-garis hitam. Seperti luka sayat yang mengering. Agaknya kesaktian Kumala Dewi hanya mampu membuat luka-lukanya mengering dan merapat. Tapi belum bisa menghilangkan bekas garis hitamnya. Meski demikian, ia merasa sudah cukup baik, sehingga tak perlu khawatir untuk keluar dari kamarnya. "Mana Buron?" "Sedang menjemput kakaknya Jessica," jawab Sandhi. "Kumala, aku takut mengalami kerusakan wajah. Sungguh aku takut sekali, Kumala." "Apakah kau dalam bulan ini pernah menghadiri seminar kecantikan yang bertemakan: 'Perawatan Kecantikan Abadi'? Kalau nggak salah pembicaranya yang bernama: Zus Pretisya?" "Nggak Aku nggak pernah menghadiri kecantikan, eeh... seminar kecantikan macam itu. Tapi kalau nggak salah, kakakku minggu lalu pernah bilang mau menghadin seminar kecantikan di sebuah hotel berbintang. Dia mendapat undangan gratis dari rekannya satu club senam." "Kalau begitu kau tak perlu khawatir sekali dengan kecantikanmu, Jessica. Untuk sampai saat ini aku yakin kau masih aman." "Apa maksudmu bertanya tentang seminar macam itu, Kumala?" Karena saat itu yang bertanya Sandhi, maka pandangan mata jernihnya Kumala pun tertuju pada sopir pribadinya itu. "Chevi menceritakan tentang keikut sertaannya dalam seminar yang bertujuan memelihara kecantikan, agar orang dapat memelihara kecantikannya dan tetap awet muda sekaligus awet cantik tapi ia sendiri justru nyaris menjadi korban racun kecantikan. Pada saat Chevi menceritakan hal itu, T ante Cristy menyambung kata, bahwa ia pun hadir dalam seminar tersebut. Dari mereka berdua aku mendengar kabar bahwa seminar itu diadakan di berbagai tempat dalam waktu yang berbeda, dan pembicara utamanya adalah seorang doktor ahli kecantikan yang bernama Zus Pretisya. Aku segera menghubungi Nyonya Ivone melalui teleponnya. Ternyata Nyonya Ivone juga mengaku pernah diundang secara langsung oleh Zus Pretisya dalam seminar tersebut. Tapi dia tak hadir pada saatnya. Cuma, dia mengaku merasa aneh sejak bertemu dengan Zus Pretisya di sebuah klinik kecantikan." "Ada kesamaan nama dan acara sepertinya." "Benar. Dan, aku mencurigai wanita cantik yang bernama Zus Pretisya itu. Aku ingin tahu, siapa dia sebenarnya. Apakah benar dia adalah orang yang menjadi penyebab munculnya wabah racun kecantikan ini. Jika benar, berarti dia bukan manusia biasa. Racun kecantikan ini adalah kekuatan gaib kelas tinggi yang bukan dimiliki oleh manusia. Hanya iblis betina atau sejenisnya yang memiliki racun kecantikan seperti ini. Ketika berada di dalam kabut hitam tempo hari, aku memerangi racun-racun itu. Ternyata mereka memiliki kekuatan yang sulit ditaklukkan. Mereka bisa bergerak sendiri, seperti memiliki nyawa yang punya naluri merusak semua bentuk kecantikan." "Siapa pemilik racun itu sebenarnya, Kumala?" Dewi Ular menggelengkan kepala. "Aku nggak tahu. Aku belum bisa menemukan siapa yang beraksi sebagai dalang di balik kasus ini. Dan, aku juga belum menemukan penangkal racun yang sebenarnya. Pengobatan yang kulakukan hanya bersifat sementara saja." "Tapi katamu kemarin, kau telah berhasil menyelamatkan Chevi?" "Ya. Itu karena dia belum tercemar keseluruhan fisiknya. Aku bisa mengangkat energi racun itu dari auranya, walau pun racun-racun itu akan menghimpun kekuatan untuk beraksi kembali sebagai luapan kemarahannya atas tindakanku. Tapi bagi mereka yang sudah terkontaminasi racun secara fisik, aku ternyata belum dapat menyembuhkan secara total. Kau lihat sendiri, kukerahkan kekuatanku sehari semalam untuk mengobati lukaku, tapi ternyata hanya sampai batas begini saja kan? Aku belum punya formula untuk memulihkan kecantikanku sendiri seperti aslinya. Itu tandanya racun itu memiliki kekuatan yang luar biasa dan sulit ditaklukkan." "Apakah racun itu akan mengganas dan merusak kecantikan pada wanita yang habis berkencan, seperti ceritanya Nyonya Ivone itu, Kumala?" tanya Sandhi lagi. "Nggak. Bukan karena kencannya yang merusak kecantikan, tapi kondisi fisiknya Racun itu akan merusak kecantikan pada saat stamina si calon korban mengalami penurunan Biasanya orang yang kelelahan, capek habis melakukan aktivitas, maka dia akan langsung merasakan gatal-gatal dan racun itu menyerang jaringan tubuhnya. Orang dalam kondisi stress tinggi pun kayaknya bisa langsung terkena kerusakan wajah, seperti yang dialami Chevi." "Jadi, orang yang sudah mulai terkontaminasi racun itu pada auranya, jika ia dalam keadaan sehat, tidak kecapekan, maka reaksi racunnya akan lamban. Begitu maksudmu?" "Kira-kira begitu Sebab...," kata-katanya pun terhenti, karena tiba-tiba seberkas sinar masuk ke dalam rumah. Sinar kuning itu membias di ruang tamu. Blaaap...! Padam seketika. Dan, ternyata itulah tanda kembalinya Buron bersama seorang wanita cantik yang lebih tua dari Jessica. Wanita cantik berambut pendek itu tak lain adalah kakak Jessica sendiri. Luiza. "Luii... !" pekik Jessica dengan tegang, karena ternyata keadaan Luiza sudah nyaris mengalami kerusakan pada wajah dan sekitar bagian lengan dan dadanya. Leher Luiza telah mengalami luka sayatan yang mengeluarkan cairan darah kental hitam. Kumala Dewi segera menangani keadaan Luiza dengan menyalurkan hawa saktinya. Berkat penanganan Kumala yang cukup cekatan itu, luka aneh yang muncul sendiri dalam setiap garukkan jari Luiza itu dapat dibendung. Namun wajah Luiza masih tetap tak secantik semula. Lukanya masih ada. Kering. Tapi tidak tertutup rapat membentuk bekas hitam seperti Kumala. Luka itu lebih parah dan lebih mengerikan jika dibandingkan lukanya Kumala. Tapi lebih lumayan jika dibandingkan lukanya Nyonya Ivone dan Tante Cristy. "Kalian tinggal di sini dulu. Jangan pergi ke mana-mana," kata Kumala. "Aku akan melakukan beberapa tindakan di luar sana. Udara di sekeliling kita dapat menjadi penyebab terjangkitnya wabah seperti yang dialami Luiza." "Tapi bagaimana dengan anak-anakku. Mereka pasti mencariku. Mereka tidak tahu kalau aku dibawa kemari oleh... Buron." Sandhi melirik Buron lagi. "Kasihan anak-anak itu kalau tak dibawa kemari juga, Ron." Buron tarik napas panjang. "Okey, okey... gue yang jalan lagi jemput mereka!" ujarnya bernada keluh. Sandhi menahan geli dalam hatinya. Buron tak berani menolak tugas seperti itu selama ada di depan Kumala Dewi. Ia takut pada kemarahan Kumala. Luiza mengaku pernah menghadiri seminar kecantikan dengan pembicara tunggal Doktor Pretisya. Tiga hari yang lalu ia menghadiri seminar tersebut. Mestinya hari ini para peserta seminar dijadwalkan untuk bertemu lagi di tempat yang sama. Tetapi sampai tadi sore Luiza belum menerima undangan atau kabar dari telepon, seperti yang dijanjikan. "Dia bilang, hari ini kami akan diundang lagi untuk menerima pembagian cream pembersih kulit wajah. Katanya, cream tersebut adalah obat yang akan membuat kami tetap awet muda dan awet cantik. Meski usia kami mencapai 70 tahun, maka wajah tetap tampak cantik, muda dan tidak akan berkerut sedikit pun. Di samping menerima cream secara gratis kami juga akan mendapatkan perawatan kecil di wajah kami berupa uap pengawet kulit: Peralatan uap itu didatangkan dari Paris, berisi ramuan alami yang tidak mengandung bahan kimia sedikit pun. Tapi... nyatanya sampai malam begini belum ada kabar yang kuterima dari pihak penyelenggara seminar tersebut." "Apakah alat penghasil uap itu tempo hari sudah dipamerkan di depan peserta seminar?" "Belum. Katanya sih, alat itu masih berada di tempat lain, karena belum selesai digunakan dalam seminar di tempat tersebut." "Cream yang akan diberikan kepada peserta seminar sudah diperlihatkan contohnya?" "Hanya berupa poster. Dia bilang, cream tersebut sedang dalam perjalanan. Karena hari itu penyelenggara seminar belum mendapat jatah obat tersebut untuk dibagikan di tempat kami." "Jadi, apa saja yang dilakukan dalam seminar itu?" Kumala menyelidik lebih dalam lagi. "Yaah... hanya semacam ceramah atau penjelasan mengenai rencana Zus Pretisya mengawetkan semua kecantikan kaum wanita di dunia " "Tidak ada demo apa-apa?" "Nggak ada. Dia hanya memberi contoh dua wanita yang berwajah cantik dan muda, yang menurutnya sudah berusia 58 tahun. Tapi kedua wanita itu seperti masih berusia 25 tahun. Tentunya kami semua kagum dan kepingin seperti kedua wanita tersebut." Dewi Ular menarik napas panjang, membiarkan saasana lengang beberapa detik. Setelah itu terdengar kembali suaranya yang lembut dan tetap merdu sepeiti biasanya. "Persis seperti keterangan dari Chevi. Dijanjikan cream pengencang kulit abadi. Tante Cristy dan Nyonya Ivone pun mengaku demikian. Tapi menurut Tante Cristy ada keganjilan dalam suasana seminar tersebut: Apakah kau juga merasakan suatu keganjilan dalam suasana seminarmu itu, Kak Lui?" "Keganjilan?!" Luiza berpikir sejenak, kemudian menyambung kata-katanya lagi. "Satu-satunya hal yang dianggap ganjil barangkali adalah ruangan yang digunakan sebagai tempat seminar itu, menurutku." ”Ruangan itu bagaimana?" desak Jessica yang sejak tadi diam menyimak pembicaraan tersebut. "Ruangan yang kami tempati untuk berkumpul itu nggak begitu besar Cukup menampung sekitar 50 orang, mungkin kurang dari 50. Memang tergolong eksklusif tempat itu. Tapi kami mencium bau aneh dalam ruang pertemuan itu." "Bau aneh macam apa?" "Seperti... bau parfum tapi aromanya nggak enak Mual di perut, wanginya wangi aneh sekali, nggak bisa diomongin deh. Bukan wangi bunga, bukan wangi kayu, busa, daun atau yang lainnya. Tapi kayak bau debu. Makin lama makin tajam bau itu. Naah... mirip kalau kamu masuk dalam gudang yang sudah lama nggak kena udara luar. Lembab dan berdebu. Makin sering Zus Pretisya ngomong, makin tajam baunya." "Itulah racun!" potong Kumala Dewi. Semua menatapnya dengan dahi berkerut tajam. Kumala tetap tenahg dalam menyampaikan penjelasan berikutnya. "Chevi sempat bilang padaku tentang aroma tanah basah yang tercium dalam ruang seminar tersebut. Menurutnya, semakin ia berada di dekat Zus Pretisya, atau berhadapanhadapan, semakin tajam bau tak sedap itu tercium olehnya. Terutama pada saat Zus Pretisya sedang bicara dalam jarak dua meter darinya Menurutku, racun Itulah yang menyebarkan aroma tak sedap, dan dikeluarkan dari mulut atau napas Doktor Pretisya." "Sudah pasti begitu?!" sela Sandhi. "Yaah... memang belum pasti. Tapi aku punya keyakinan... 90 persen keyakinanku itu benar Kita lihat. saja nanti kalau aku sudah bisa berhadapan muka dengan yang bernama Doktor Pretisya itu " "Di mana bisa menemui orang tersebut, Lui?"tanya Jessica seakan mewakili rasa ingin tahunya Kumala. "Kabarnya sih dia tinggal dari hotel ke hotel, karena dia harus melakukan pelayanan kecantikan semacam itu keliling kota, keseluruh Indonesia. Tapi di hotel mana atau di mana alamat tempat tinggal yang sebenarnya, aku nggak tahu." "Penyelenggaranya? Mungkin kita bisa tanyakan kepada pihak penyelenggara seminar tersebut," kata Jessica lagi. "Sebuah yayasan yang aku sendiri kurang jelas, apa nama yayasan itu dan di mana alamatnya. Tapi mungkin kita bisa dapatkan keterangan dari pihak hotel tempat yayasan itu menyelenggarakan seminar tersebut, Kumala," sambil Luiza berpaling dari menatap adiknya menjadi memandang Kumala Dewi. Dewi Ular tidak mau kehilangan jejak wanita misterius yang mengaku ahli kecantikan tingkat dunia itu. Ia segera menghubungi pihak hotel yang dipakai sebagai tempat menyelenggarakan seminar tersebut. Tetapi sungguh tak disangka-sangka oleh siapa pun, termasuk oleh Luiza, bahwa pihak hotel mengaku tidak menyewakan tempat untuk seminar kecantikan pada hari yang disebutkan Luiza. Pihak hotel pun menjelaskan, seharian ini sudah puluhan penelepon yang menanyakan tentang penyelenggaraan seminar kecantikan lanjutan dari yang diadakan tiga hari yang lalu. Tetapi pihak hotel selalu menjelaskan hal yang sama. Tiga hari yang lalu tidak ada seminar. "Mereka menanyakan alamat Yayasan Rona Saka sementara kami benar-benar tidak pernah bekerjasama dengan yayasan tersebut. Kami baru dengar nama Yayasan Rona Saka hari ini!" tambah pihak hotel yang memberi penjelasan kepada Kumala Dewi. Tentang nama yayasan itu, Luiza akhirnya membenarkan setelah ia ingat kop surat yang tertera dalam undangannya tempo hari. Tapi tentang penyangkalan pihak hotel, Luiza justru kebingungan, mengapa pihak hotel harus menyangkalnya. Padahal menurutnya, jelas sekali seminar tersebut diadakan di hotel itu di lantai dua. Pihak hotel pun mempersilakan Kumala memeriksa lantai dua, sebab di sana tidak ada ruang pertemuan aiau tempat yang layak untuk seminar. Lantai dua hotel itu hanya berisi kamar-kamar untuk tamu yang bermalam di situ. "Chevi, ini aku... Kumala." "Oh, syukurlah kau menelepon lebih dulu. Kebetulan, aku mau datang ke rumahmu, Kumala. Aku butuh bantuanmu untuk..." "Di mana kau menghadiri seminar waktu itu?" "Di Romanda Hotel. Kenapa?" "Sekedar mau klarifikasi aja." Kumala segera menghubungi Romanda Hotel Tapi pengakuan pihak hotel tersebut juga aneh. Romanda Hotel pada tanggal sekian tidak menyewakan meeting room-nya untuk seminar dan mereka tidak mengenal nama Yayasan Rona Saka. Tapi pihaknya mengaku banyak orang yang menanyakan tentang yayasan tersebut dan merasa pernah seminar di hotel itu. Katanya, pihak kepolisian telah melakukan pemeriksaan langsung ke hotel dan memeriksa beberapa berkas administrasi di sana, bahwa ternyata pada hari tersebut meeting room digunakan untuk pertemuan dari sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang asuransi. Bukan di pakai oleh Yayasan Rona Saka. "Semakin jelas sekarang," kata Kumala kepada yang lain. "Pretisya bukan wanita biasa Dia mampu menciptakan tempat fiktif untuk seminar dengan mengcopy tempat-tempat yang sudah ada dan sudah dikenal oleh masyarakat. Aku harus melacak orang yang bernama Pretisya itu!" "Ke mana kau akan melacaknya?" tanya Jessica. Kumala diam berpikir la sendiri belum tahu, ke mana harus melacak wanita misterius itu. (Oo-dwkz-234-oO) 6 NIKO MADAWI, presenter sebuah acara di televisi swasta yang dulu hampir menjadi pacarnya Kumala, kini datang menemui putri tunggal Dewa Permana dan Dewi Nagadini itu. Tentu saja Niko sangat terkejut melihat wajah Kumala rusak, nyaris kehilangan seluruh kecantikannya. Sementara Niko sendiri datang dalam suasana menyimpan ketegangan. Setelah mengetahui penyebab munculnya garis-garis hitam yang merusak wajah Kumala, Niko pun menjelaskan bahwa ia telah mendapat kabar dari berbagai pihak tentang musibah kecantikan kaum wanita di dunia. "Di Jakarta sendiri sudah ada 14 wanita yang mati bunuh diri karena malu, stress, depresi, menghadapi kerusakan pada wajahnya. Kabarnya di Malaysia dan beberapa negara tetangga lainnya sudah puluhan wanita yang mati bunuh diri karena hal yang sama. Jumlah wanita yang wajahnya rusak serta kehilangan kecantikannya, mencapai puluhan ribu di seluruh Asia. Aku mendapatkan data dari internet mengenai hal ini, disamping itu juga dari beberapa rekanku lainnya." "Sekarang mungkin lebih banyak lagi," kata Kumala tetap tenang. "Sepertinya di Indonesia, kota pertama yang dilanda wabah racun kecantikan adalah Jakarta. Setelah itu, mungkin di kotakota besar lainnya akan menyusul." "Ya, aku juga sudah punya perhitungan begitu." "Apakah kau akan tinggal diam saja menghadapi wabah misterius ini, Dewi?" "Itu pertanyaan bodoh. Tapi tak apa, aku juga kadang menjadi bodoh jika berada dalam ketegangan jiwa." "Cuma kamu yang bisa menghentikan wabah ini, menurutku." "Semoga saja begitu Tapi apakah kau tahu kesulitanku?" "Tentu saja kamu lebih tahu." "Coba kamu can informasi tentang perempuan yang bernama Doktor Pretisya, pakar kecantikan kelas dunia, kaianya." "Kalau nggak salah nama itulah yang mengadakan seminar beberapa hari yang lain di... di..." "Benar. Tapi dia wanita misterius dan tempat yang digunakan untuk seminar adalah fiktif. Dia ciptakan sendiri dengan kekuatan gaibnya." "Terus, dia sendiri sekarang ada di mana?" "Kalau aku tahu kenapa aku harus tanya padamu?" "Kenapa kamu tidak gunakan kekuatan maha dewamu untuk melacaknya? Bukankah kau memiliki radar gaib yang mampu mendeteksi...." "Sudah kulakukan, Nik. Sudah!" sahut Kumala kalem. "Buron pun sudah kutugaskan melacak energi gaibnya, tapi dia juga gagal. Aku nggak bisa menemukan energi gaib perempuan itu yang menurufku bukan berasal dari alam ini." Niko Madawi terbungkam, karena tak tahu harus bilang apa lagi jika Kumala sudah mengakui kegagalannya. Siang itu yang di rumah Kumala bukan hanya Niko Madawi, tapi juga Sersan Burhan, rekannya yang dinas di kepolisian bagian reserse, didampingi oleh seorang polwan cantik yang akrab dengan Kumala, yaitu Letnan Merina Swastika. Tante Christy dan Chevi datang juga. Brion dan John ikut hadir dalam waktu yang tidak bersamaan. Bahkan Nyonya Ivone dan beberapa wanita yang menjadi korban racun kecantikan juga datang di rumah itu. Mereka seolah-olah mendesak Kumala untuk segera bertindak menghentikan wabah racun kecantikan yang diperkirakan akan menghabiskan seluruh kecantikan yang ada di muka bumi ini. "Kudengar kau pernah mendapat julukan sebagai Gadis Penyelamat Bumi," kata Nyonya Ivone. "Darimana Nyonya mendengar kabar itu?" "Setelah kuceritakan kemampuanmu mengobatiku yang setengah sembuh ini kepada beberapa rekanku. Ternyata mereka ada yang mengenalmu dan mengatakan bahwa kau pernah mendapat julukan Gadis Penyelamat Bumi. Tapi sekarang wajah bumi dirusak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Kalau kau tak bisa menyelamatkan wajah bumi, yaitu menyelamatkan kecantikan-kecantikan kami ini, maka tanggalkan gelarmu sebagai gadis penyelamat bumi. Itu tak pantas kau sandang" Tajam, ketus, dan menyakitkan bagi hati manusia biasa. Buron menggeram dalam hati Begitu pula Sandhi dan beberapa orang dekatnya Kumala Mereka mengecam katakata Nyonya Ivone yang bersifat mengancam harga diri Kumala sebagai Gadis Penyelamat Bumi. Tapi buat Kumala kata-kata tajam itu tak perlu ditanggapi dengan berat hati. Ia hanya tersenyum manis dan tetap kalem menyikapinya. "Barangkali ucapan Nyonya Ivone memang ada benamya. Saya sendiri sebenarnya tidak membutuhkan julukan atau gelar semacam itu. Saya kepingin disejajarkan dengan Nyonya, Tante Christy dan wanita lainnya. Tapi meski begitu, dan tanpa ucapan seperti itu, saya tetap akan berusaha menyelamatkan kecantikan kaum wanita di muka bumi ini. Saya tidak akan membuktikan apa-apa, tapi saya hanya menghimbau agar Nyonya sabar menunggu dan mengikuti perkembangan berikutnya." Menjelang maghrib beberapa dari mereka pulang. Brion tetap tinggal di situ. Ia tidak mau mendampingi Tante Christy yang terkesan memihak pendapat Nyonya Ivone. John pulang juga menemani Chevi. Sersan Burhan pergi bersama anak buahnya karena ada panggilan tugas di tempat lain, sepertinya masalah kerusakan wajah juga. Yang tinggal di s itu hanya Jessica dan kakaknya, serta Brion dan Niko. Di samping Niko duduk wanita cantik yang tidak berpakaian dinas, yaitu Letnan Merina Swastika, yang akrab dipanggil Mbak Mer. "Mak Bariah," seru Kumala. "Tolong siapkan makan malam untuk para tamu kita ini. Sebentar lagi petang akan tiba, Mak." "Baik, Non!" "Makan malam itu nggak perlulah," kata Mbak Mer. "Yang kami perlukan adalah tindakan menyelamatkan kecantikan bumi ini, Kumala." "Ya. Tapi jika kita lakukan dengan panik maka hasilnya akan nihil juga, Mbak. Kita harus tenang dalam..." "Astaga Aduh... ada yang kulupa!" sentak suara Buron mengejutkan semua pihak. Wajah Buron menegang. Sepertinya takut terhadap teguran atau kemarahan Kumala. Ia agak gugup ketika bicara dengan Kumala. "Maaf, Kumala... ada sesuatu yang kulupa dan itu sebenarnya sangat penting. Iya, kan San...?!' "Apaan sih?!" Sandhi justru tampak bingung. "Ada pesan yang harus kusampaikan padamu, Kumala." "Oooo, iya, iya... benar!" Sandhi sepeiti mau memekik karena sekarang ia mgat sesuatu yang bant saja diingat Buron. "Apa maksud kalian ini'?! Jangan bikin kami tegang begini. ah!" "Ada pesan yang haius kusampaikan padamu, Kumala" ' "Pesan dari siapa?!" Sandhi yang menjawab, "Dewa Perang!" Buron menimpali, "Benar Sang Hyang Dewa Nathalaga datang menemui aku dan Sandhi sewaktu kamu masih berlibur. Kami lupa menyampaikan pesan penting ini karena kamu datang dalam keadaan terluka dan menegangkan." "Eyang Nathalaga datang?!" gumam Kumala Dewi seperti bergumam. "Kau diminta menemuinya secepatnya, Kumala." Sandhi menimpali, "Barangkali pesan ini ada hubungannya dengan kasus wabah racun kecantikan yang tadi kita bicarakan." Kini semua diam. Semua saling berpandangan satu dengan yang lain. Di benak Jessica dan Luiza masih menyangsikan kebenaran ucapan Buron dan Sandhi. Terutama Luiza yang tidak tahu banyak tentang siapa jati diri Buron, ia menduga kata-kata itu hanya bualan Buron untuk mendramatisir kasus yang sedang berkembang. Tapi bagi Kumala itu bukan hal yang mustahil. la hanya merasa heran, apa perlunya dewa penguasa peperangan itu turun ke bumi mencari dirinya "Di mana aku harus menemui beliau?" tanya Kumala Sandhi yang menjawab, "Beliau menunggu di Taman Padmanagari" Mbak Mer berkerut dehi, "Mana ada Taman Padmanagari di Jakarta ini? Mungkin maksudnya di alam lain, begitu?" "Entahlah." "Mungkin yang dimaksud dekat Taman Lawang," sela Jessica. "Husy! Taman Lawang itu tempat bencong-bencong mangkal. Masa' Dewa Perang 'ngetem' di sana sih?!" sahut Buron. "Nggak mungkin!" Setelah diam sesaat, Kumala Dewi berkata, "Aku tahu...!" Semua mata tertuju padanya. "Padma itu artinya bunga. Nagari artinya negara. Padmanagari adalah Bunga Negara. Taman Bunga Negara tak ada lain kecuali Taman Pahlawan. Bunga Negara bisa diartikan sebagai Pahlawan." "Kalibata!" sahut Sandhi cepat. "Tapi apa mungkin Dewa Perang ada di Taman Pahlawan, di Kalibata sana? Ngapain dia?" "Di sana kan ada mall. Mungkin beliau dagang di sana," kata Sandhi terkesan berseloroh Kumala menatap tanpa berkedip. Sandhi salah tingkah sendiri. Merasa bersalah telah membuat suasana seperti itu menjadi bahan candaan. "Mbak Mer, aku butuh freepass untuk masuk ke Taman Pahlawan." kata Kumala "Sebagai Dewa Perang, Eyang Nathalaga menyukai tempat-tempat seperti itu." "Wah, izin masuk ke sana nggak mudah diperoleh, Kumala." "Mbak Mer yang berlugas mengusahakan secepatnya. Aku akan masuk lebih dulu mencari Eyang Nathalaga!" Mbak Mer bingung menjawab. Tapi sebelum petang berubah malam, Kumala sudah bergegas masuk ke mobilnya. Mau tidak mau Mbak Mer ikut masuk ke dalam BMW hijau giok yang menjadi ciri khas mobil Dewi Ular itu. Dia harus mendampingi Kumala jika terjadi sesuatu yang bersifat formal di Taman Pahlawan nanti Buron tidak diizinkan ikut, karena ia ditugaskan menjaga rumah bersama isinya; termasuk Jessica dan Luiza serta anak Luiza. Brion, Niko, menggunakan mobil lain. Ikut mengantar Kumala menuju Taman Pahlawan. Niko menyiapkan kamera handycam untuk merekam kejadiankejadian gaib yang dapat dijadikan materi penayangan acaranya: Lorong Gaib. Mbak Mer sibuk menghubungi beberapa orangnya melalui handphone. Jalanan macet Ada kejadian yang cukup menghebohkan di dekat lampu merah sana. Sandhi menurunkan kaca samping, menyempatkan bertanya kepada seorang pedagang asongan yang kebetulan melintas di trotoar samping kanannya. "Ada apa di depan sana, Jang?!" "Ribut, Bung." "Ribut apaan? Siapa yang ribut?" "Tahu tuh perempuan-perempuan pada menjerit histeris di dalam mobil. Ada yang berlarian keluar kayak orang gila Mukanya digarukin sampai kulitnya terkelupas, Bang. Seram deh!" "Mukanya digarukin?!" Sandhi menatap Kumala ke belakang. Pedagang asongan yang sempat membungkuk untuk melihat isi mobil mewah itu berkata lagi dengan nada tegang. "Wah, sebaiknya jangan lewat ke sana deh, Bang. Ntar nona-nona cantik ini ikut diserang kuman gatal-gatal lho. Wajahnya bisa rusak seperti mereka." "Ya, makasih atas saranmu, Jang!" potong Sandhi lalu segera menutup kaca kembali. Suara gaduh di luar teredam oleh kerapatan kaca. "Bagaimana nih?" tanya Sandhi seraya melirik spion untuk memandang Kumala Dewi yang duduk di jok belakang bersama Mbak Mer. "Tabrak mobil depan!" "Apa?! Kau gila?!" sergah Mbak Mer, tak setuju dengan perintah itu. Tapi sebagai gopir pribadi Dewi Ular yang sudah sekian lama ikut berpetualang, Sandhi sudah cukup paham dengan perintah itu. Maka, mobil pun dijalankan kembali. Mbak Mer sempat mencegah Sandhi agar jangan menuruti perintah Kumala. Tapi Sandhi tetap nekat. Dan, ternyata ketika BMW hijau itu bergerak maju, Mbak Mer tak merasakan adanya benturan apapun. Mobil itu seperti menembus gumpalan kabut. Mobil-mobil yang ditabraknya tidak mengalami kerusakan sedikit pun. Mereka tetap utuh. Maka, Mbak Mer pun terperangah setelah menyadari bahwa Kumala telah menggunakan kesaktiannya, yang membuat mobil meteka berubah seperti bayangan. Tak dapat disentuh atau menyentuh benda apapun Tak ada satu getaran pun yang berarti. Blees, blees, wuuusst...! Lancar dan mulus. "Stop...!" perintah Kumala mendadak. Sandhi pun menghentikan mobil. Tahu-tahu semua orang, termasuk petugas lalulintas yang sedang berusaha menenangkan suasana di situ, menjadi terkejut melihat sebuah sedan mewah telah berada di tengah perempatan jalan. Kumala tak pedulikan sama sekali keheranan mereka. la langsung turun dari mobil. Mbak Mer turun juga, menghampiri petugas lalulintas yang bermaksud menegur sandhi. Petugas lalulintas itu justru buru-buru memberi hormat kepada Mbak Mer. Lalu, mereka bicara entah apa yang dibicarakan. Sandhi ikut turun dari mobil. Tapi tidak berjalan seperti Kumala. Ia hanya berdiri di samping mobil dengan pintu mobil masih terbuka Ia memandangi Kumala yang segera menghampiri sekelompok orang. Di sana terdengar jeritan kepanikan yang sangat menggaduhkan suasana. "Kumala....!" seru seorang pria dari arah lain. Ia berlari-lari menghampiri Kumala. Setelah dekat baru Kumala mengenali pria itu yang ternyata adalah Sakom, pasangan kencannya Nyonya Ivone. Tapi agaknya sejak peristiwa yang menghancurkan kecantikan Nyonya Ivone, Sakom tidak lagi akrab dengan perempuan itu Ada perempuan lain yang diakrabinya dan sekarang sedang bersamanya. "Oh, kau di sini, Sa?" "Kumala ... tolong, Dibba ada di mobil. Dia mengalami gejala-gejala seperti yang dialami Nyonya Ivone. Sama dengan mereka yang berteriak-teriak di sini! Tolonglah, Kumala" "Zus Dibba?! Ooh, dia juga terkena racun kecantikan?!" Kumala berkata sambil bergegas menghampiri mobil merah yang ada di sisi lain. Di dalam mobil itu tampak Zus Dibba sedang menggaruk wajahnya dalam kepanikan. Rasa gatal tak tertahankan lag. Luka aneh mulai bermunculan di wajah Zus Dibba. Guru senam itu pun mengerang dan meratap-ratap minta ditolong begitu ia tahu Kumala ada di samping mobil. Kumala segera membuka pintu mobil dan menarik keluar Dibba. Dengan cepat Dewi Ular mengeluarkan cahaya hijau dari telapak tangannya yang disentakkan ke arah kepala Dibba. Waktu itu Dibba berlutut tanpa sadar karena rasa gatal yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Cahaya hijau itu segera membungkus tubuh Dibba. Kemudian dengan satu tarikan napas dan gerakan tangan ke atas Kumala berhasil mengangkat seluruh gumpaian kabut dan cahaya hijau yang menyelimuti tubuh Dibba. Wuuusst...! Kini di kedua tangan Kumala Dewi. terdapat gumpaian kabut dan cahaya yang sudah tidak berwarna hijau lagi, melainknn merah seperti bola api. Dibba jatuh pingsan. Nyawanya seperti tercabut. Tapi Kumala tak mengkhawatirkan Dibba. la tahu gadis itu hanya pingsan. Yang menjadi persoalan sekarang adalah ke mana membuang gumpaian kabut dan cahaya merah yang menyerupai bola api itu. Cahaya itu merupakan kumpulan dari racun kecantikan yang berhasil dihisap dengan kesaktiannya. Walau pun di tubuh dan wajah Dibba masih membekas luka kering, tapi ia telah bebas dari racun. "Lukanya masih ada, Kumala," seru Sakom "Biar. Tapi racunnya sudah tak ada. Kau lihat wajahku ini Aku juga sedang mencari cara untuk memulihkan kecantikanku. Tapi sekarang yang terpenting adalah membuang racun ini." "Buang saja ke selokan sana!" "Berbahaya. Akibatnya akan mengenai orang lain," kata Kumala sambil teringat saat ia membuang racun seperti itu dari atas kapal pesiar. Sementara itu, di sisi lain semakin banyak wanita yang menjerit histeris karena mengalami reaksi keracunan secara serentak. Kumala yakin, pasti ada penyebab utama yang membuat mereka keracunan secara serentak. Akhirnya gumpalan kabut dan cahaya merah racun itu dilemparkan keatas. Weeess. Kecepatan bola pijar itu sangat luar biasa, sehingga dalam waktu singkat menjadi sangat jauh dan mengecil. Ketika sudah kelihatan tinggal sebesar telur ayam. Kumala Dewi melepaskan sinar seperti laser berwarna hijau bening . Claaap...! Sinar panjang itu bergerak lebih cepat lagi dan akhirnya menghantam bola pijar tadi di angkasa sana. Blegaaarr... !! Dentumannya luar biasa hingga membuat pepohonan dan tiang-tiang listrik bergetar. Nyaris terjadi korstliting listrik. Untung Kumala segera meredakan getaran itu dengan merentangkan kedua tangannya. Lalu, bagaimana dengan para korban yang lain, yang berlarian keluar dari mobil, atau bertingkah dalam kepanikan yang sangat menakutkan masyarakat lainnya itu? Dewi Ular mengambil tindakan spekulatif dan memang sedikit atraktif. Bukan maksudnya untuk pamer kesaktian kepada masyarakat awam, tapi semata-mata dilakukan lantaran terdesak dan harus segera menyelesaikan persoalan saat itu. Dengan kekuatan ilmunya gadis berambut panjang yang kala itu mengenakan celana kulot serta sweater tak dikancingkan segera melesat ke udara. Wuuut. .! Lalu berhenti di udara bebas, tepat di pertengahan simpang empat itu. Sekujur tubuhnya memancarkan cahaya hijau bening yang berpendar-pendar, sehingga semua orang terpancing perhatiannya untuk menatap dengan penuh kekaguman. "Gile! Setan mana itu?!" teriak seseorang. "Lihat, dia seperti kunang-kunang besar!" "Jangan-jangan makhluk planet lain tuh!" "Ada UFO...! Lihat tuh, UFO .!" "Mungkin dia penyebab virus gatal-gatal ini?!" "Serang dia, serang !" Mereka yang tidak tahu-menahu siapa Kumala Dewi segera melempari dengan batu, potongan kayu, atau apapun yang dapat dilemparkan. Sandhi berteriakteriak dengan panik sendiri, begitu pula Niko dan Brion. "Hentikan...! Hentikaaan...!" "Dia bukan orang jahaat...! Jangan lempari dia !"' Mbak Mer mengeluarkan pistol simpanannva, lalu memberi tembakan peringatan ke udara. Taaar taaar, taarr...! Tapi mereka tetap melempari dengan berbagai macam benda. Mereka baru berhenti melempar setelah sadar bahwa batu atau potongan kayu yang mereka lemparkan ternyata tidak pernah sampai pada sasaran. Waktu itu Kumala dalam ketinggian sekitar 10 meter dari permukaan aspal. Mestinya batu-batu tersebut bisa sampai mengenai tubuhnya. Ternyata batu-batu itu diam dan mengambang di udara dalam jarak dua meter dari tempatnya. Benda-benda yang dilemparkan itu seperti kehilangan gaya gravitasi bumi, sehingga tak dapat jatuh kembali atau naik ke atas. Hanya bergerak lamban mengelilingi Kumala Dewi. Brion dalam keadaan semakin terkagum-kagum. la semakin yakin bahwa Kumala ternyata memang memiliki kesaktian tinggi dan layak disebut-sebut sebagai anak dewa. Namun Brion belum tahu sejarah jati dirinya Kumala Dewi yang sebenarnya. Kedua tangan Dewi Ular saat itu terentang ke samping. Dari tiap jari-jarinya mengeluarkan cahaya menyerupai jaring laba-laba. Ada orang yang menyangka dia adalah Spiderman, ada pula yang menyangka lain lagi. Yang jelas, cahaya hijau yang menyerupai jaring laba-laba itu menyinari seluruh tempat dalam radius hampir 1 kilometer. Semua benda, termasuk manusia, menjadi hijau bening. Kejap berikutnya sinar itu seperti ditarik ke asalnya. Tapi warnanya sudah berubah. Warna kehijauan menipis dan berganti kemerah-merahan. Seluruh sinar terkumpul ke arahnya dan menjadi berwarna orange. Dalam sekejap saja Kumala Dewi sudah terbungkus oleh sinar orange yang sebenarnya adalah unsur racun dari para korban. Ia sengaja membiarkan dirinya terbungkus racun gaib sementara para wanita yang tadi menjerit-jerit kegatalan saling jatuh pingsan di tempatnya masing-masing. Mereka telah kehilangan racun yang berarti bebas dari pengaruh kekuatan gaib yang akan menghancurkan kecantikan mereka. "Celaka! Dia tak dapat keluar dari gumpalan kabut cahaya merah itu," seru Niko kepada Brion. Agaknya Brion juga ikut merasa tegang dan kasihan melihat Kumala terbungkus energi racun itu, sehingga ia berlari menghampiri Mbak Mer dan Sandhi agar melakukan sesuatu untuk mcmbebaskan Kumala. Sementara Niko meski pun khawatir akan keselamatan Kumala, ia tetap mengarahkan kamera handycamnya untuk merekam kejadian langka tersebut "Apa yang harus kita lakukan?! Melemparkan sesuatu pun tak bisa sampai ke arahnya kan?!" kata Sandhi. "Benar. Aku nggak akan bisa memecahkan bola besar yang membungkusnya itu, karena peluruku juga nggak bisa sampai ke sana!" ujar Mbak Mer dengan kebingungan. Dalam keheningan cahaya yang membentuk bola besar dan mengurung Kumala itu semua orang dapat melihat keadaan Kumala yang sangat tersiksa. Ia seperti kehabisan napas. Ia berusaha mendobrak dinding bola dengan berbagai cara, dengan melepaskan cahaya hijaunya, namun tetap tak berhasil merusak pembungkus dirinya itu. Kecantikannya yang sudah rusak menjadi semakin rusak lagi, karena kulit tubuh Dewi Ular saat itu menjadi merah bagaikan kepiting rebus. "Lihat, bola besar itu semakin mengecil!" teriak Brion. "Gawat! Kumala makin tergencet dari berbagai arah!" geram Sandhi sangat panik. Ia bernapsu sekali uniuk turun tangan menyelamatkan majikan cantiknya. Namun ia tak dapat berbuat apapun karena yang di hadapi adalah sesuatu yang super gaib. Ruang gerak Dewi Ular memang semakin sempit. Ia terpaksa menggunakan kesaktian tingkat tinggi, walau sebenarnya selalu ia sembunyikan dari depan masyarakat umum. Claaap...! Ia berubah menjadi sinar hijau kecil berbentuk seperti seekor naga. "Wwwwooooww...!!" Semua orang bergumam semakin kagum dan terheranheran. Namun mereka tetap tak dapat berkata apa-apa lagi karena ter pukau dengan tegang melihat nagakecil itu berusaha keluar dari gumpalan racun yang transparan itu. Naga tersebut bergerak dengan sangat cepat. Zig-zag. Blegaaarr....! Dentuman dahsyat pun terjadi. Semua listrik di sekitar tempat itu menjadi padam. Lampu-lampu mobil banyak yang pecah akibat getaran gelombang ledakan tadi. Bola merah yang mengurungnya pun pecah menyebar ke berbagai arah. Weesst...! Namun secepat kilat pecahan sinar itu kembali ke tempat semula. Wuuzzt...! Duubs...! Mengurung naga kecil itu kembali seperti semula. Dewi Ular bergerak lagi dengan zig-zag seperti tadi. Blegaaar! Pecahlah kurungannya, namun dalam sekejap sudah kembali menyergapnya. Menjadi semakin lebih kecil dari ukuran semula. "Habis sudah! Habis riwayat Kumala kalau begini caranya...!" Sandhi mengeluh, seperti ingin menangis. Ia tak tega melihat Kumala kewalahan menghadapi lawannya yang tak jelas dari mana asalnya itu. Tiba-tiba semua orang terperangah ketakutan mendengar suara yang menggema di setiap penjuru. Gema suara itu seolah-olah telah ikut membuat setiap jantung manusia bergetar dan terdesak sakit. "Hiaaahhk, haaak, haaahk, hhaaahkk...! Kau tak akan bisa lepas dari jeratanku sekarang, Dewi Ular! lnilah saat-saat terakhirmu melihat kehidupan di alam manusia! Sebentar lagi kau akan hancur untuk menebus kekalahan anak-anakku! haaahk, haaahk, haaahk...!" "Suara siapa itu?!" geram Mbak Mer sambil bersiap-siap mengarahkan pistolnya. Suara itu berasal dari atas, tapi tak diketahui di mana tempat kedudukan si pemilik suara. Mereka juga tak melihat seperti apa wajah si pemilik suara mengerikan itu. Yang mereka tahu, suara tersebut adalah suara wanita yang memiliki gelombang getaran menyakitkan telinga. "Tamat sudah riwayatmu, Dewi keparat! Tapi anak-anakku harus menyaksikan kehancuranmu. Tunggu, kupanggil mereka dulu...! Hiaak, haaaahk, haaahhk, haaahk...!" "Anak-anakku?!" gumam Sandhi. Ia segera ingat musuhmusuh Kumala selama ini. Venoz, Amapola, Bahorok dan yang lainnya adalah anak-anaknya Dewa kegelapan yang disebutsebut dengan nama Lokapura. Tapi menurutnya Lokapura bukan makhluk betina. Berarti suara wanita itu adalah suara istrinya si Lokapura. "Dewi... Dewi Penguasa... hmmm... yaah, aku tahu suara siapa itu!" tapi Sandhi masih bingung menyebutkan nama jelas yang dimaksud. Dugaannya dibenarkan oleh munculnya suara lelaki yang menggema lebih menakutlcan lagi. "Mau ke mena kau Pretisyanawa .. .?!!" Claaaap, byaaaak...! Seberkas sinar perak terang sekali melesat dari arah barat. Menghantam kegelapan malam di atas sana Lalu, menimbulkan dentuman dahsyat yang menggetarkan seluruh permukaan tanah setempat Blegaaaaarrrrr...!!" "Sebelum pergi kau harus berhadapan denganku lebih dulu, Dewi Penguasa Birahi Iblis...!!" gema suara lelaki yang menakutkan itu semakin memperjelas dugaan Sandhi. Dentuman besar tadi membuat alam seolah-olah mendadak sontak menjadi seperti s iang hari.Terang sekali. Dari atas bola yang masih membungkus Kumala Dewi tampak sesosok bayangan berpakaian seperti ratu yang melayang-layang diikuti dengan nyala api di sekelilingnya. Bayangan itulah yang tadi bersuara mengerikan dan sekarang menjerit-jerit kesakitan. "Aaaaaasa ... !! Biadab kau, Nathalaga.. ! Aaaaa. ouu! Lepaskan aku...! Lepaskaaann...!!" Blaaar, blegaaarrrrr...! Terdengar dentuman keras lagi yang membuat bayangan Dewi Penguasa Birahi Iblis itu terlempar bersama gumpalan api Jauh dan jauh sekali, hingga menembus lapisan langit malam yang waktu itu menjadi seperti senja hari. Zzzzuuup...! Terangnya cahaya yang menyerupai siang menjadi redup. Lalu, beberapa orang di bawah melihat sesosok lelaki berjubah putih berdiri di atas gumpalan awan perak. Lelaki berambut panjang, berjenggot dan berkumis abu-abu itu tak lain adalah Dewa Nathalaga yang terpaksa turun tangan melihat Kumala dalam bahaya. Dengan kekuatan saktinya, cahaya merah yang membungkus seekor naga kecil bentuk cahaya itu disedotnya ke dalam tangan kanan sekali sedot semuanya terhisap dan lenyap, sehingga cahaya hijau berbentuk naga kecil itu terbebas dari kekangan, lalu berubah dalam wujud Kumala Dewi yang dilapisi cahaya hijau seperti semula. "Eyang Nathalaga... ?!" Kumala terengah-engah dan melayang labil. "Mestinya kau temui aku dulu baru melawan kekuatannya!" Dewa Nathalaga menyambar tubuh Kumala dengan tangkas. Wuusst....! Tangan kiri memegangi tubuh Kumala tangan kanannya menyebarkan sesuatu ke alam sekitarnya. Zlaaaap...! Seperti cahaya kecil atau bunga api yang berwarna biru kehijauan menyebar dan nenghunjani mereka secara keseluruhan. Bahkan angin yang ditimbulkan dari gerakannya membawa hujan bunga api itu menyebar ke seluruh Jakarta. Udara mendadak sontak menjadi dingin sekali. banyak orang yang menggigil. Tetapi udara itulah yang membuat luka-luka akibat racun kecantikan menjadi kering, yang pada akhirnya lenyap dari wajah mereka. Maka, kecantikan mereka pun kembali seperti sediakala dalam waktu yang relatif singkat. Semua orang saling gemuruh membicarakan pemulihan kecantikan itu, tanpa menghiraukan ke mana Kumala Dewi dibawa pergi oleh Dewa Nathalaga. Hanya Sandhi, Niko dan Mbak Mer yang memperhatikan Kumala sedang dibawa oleh Dewa Nathalaga ke atas sebuah gedung bertingkat 14. Hanya Kumala yang tahu apa yang dikatakan Dewa Nathalaga diatas sana. "Lokapura sudah mengerahkan pasukannya untuk menyerang bumi. Kalau istri sahnya itu tadi gagal rnenangkap atau menghancurkan dirimu, dia akan menyerang bumi dan menghancurkan. Dia sendiri yang akan memimpin penyerangan besan-besaran itu. O leh sebab itulah aku datang kemari atas izin Hyang Maha Dewa. Tugasku membendung serangan mereka dan memimpin peperangan dari sini. Kau yang kupilih untuk menjadi senopati peperangan nanti, Dewi Ular" "Eyang Nathalaga," kata Kumala penuh hormat. "Aku siap menjadi komandan perang nanti asalkan Eyang mendampingiku. Sebab, tanpa didampingi Eyang, maka kesaktianku akan tidak sebanding dibandingkan dengan kesaktiannya Dewa Kegelapan itu." "Justru aku kemari untuk memberimu bekal dalam menghadapi mereka nanti. Tapi kau telat menemuiku. Kau justru melakukan tindakan yang kurang tepat dengan melawan si Pretisyanawa alias Dewi Penguasa Birahi lblis itu." "Eyang, aku harus melakukan perlawanan sekuat apapun dirinya, karena tugasku menyelamatkan kehidupan umat manusia di bumi." "Ya, ya... sekarang aku memaklumi tindakanmu, Pretisyanawa sengaja ingin menghancurkan semua kecantikan di muka bumi karena dengan begitu ia akan memperoleh energi kecantikan yang akan membuat dirinya menjadi lebih cantik lagi dari yang sekarang." "Pantas dia menyamar sebagai ahli kecantikan bergelar Dokter Pretisya " "Racunnya dikeluarkan lewat napasnva. Racun itu bisa dikendalikan olehnya dari jauh, bisa juga bekerja dengan sendirinya di saat si calon penderita mengalami kelemahan raga, alias kecapekan. Rupanya dia tadi mengendalikan kekuatan racunnya di sekitar tempat ini, sehingga semua wanita yang sudah menghirup hawa napasnya mengalami kehancuran wajah, seperti yang kau lihat tadi." "Untung Eyang Nathalaga cepat turun tangan. Terima kasih sekali atas bantuannya, Eyang!" "Ya. Sekarang kembalilah dan bersiaplah untuk menerima bekal dariku, buat menghadapi pertempuran melawan si Dewa Kegelapan itu!" Dewa tua agak eksentrik tapi terkesan galak itu lenyap begitu saja. Tanpa mau berbasa-basi lagi. Ia tinggalkan Kumala di atas gedung yang tinggi. Tapi hal itu bukan sesuatu yang perlu disedihkan oleh Kumala. Ia tahu bagaimana caranya turun dan kembali bergabung dengan Mbak Mer dan yang lainnya. Ia perhatikan sekujur tubuhnya sudah bersih dari luka yang semula menggores hitam di bagian wajah serta lengannya. Ia sudah kembali cantik seperti sediakala. Kini yang ia siapkan adalah waktu dan dirinya sendiri. Ia harus mengurangi aktivitas manusiawinya untuk mulai menerima bekal dari Dewa Perang. Ia harus menemui Dewa Perang itu di Taman Pahlawan. Tentu saja dalam dimensi lain yang berbatasan tipis dengan alam sekelilingTaman Pahlawan itu. "Tolong kejadian ini jangan diliput dalam acaramu," katanya kepada Niko Madawi. "Sayang sekali kalau tidak ditayangkan. Ini materi paling bagus buat acaraku. Semua orang yang mengalami kerusakan di wajahnya sudah menjadi cantik kembali seperti sediakala. Ini pun harus diberitakan kepada yang lain." "Itu tidak mungkin," kata Kumala. "Memang, gelombang cahayanya Eyang Nathalaga tadi menyebar bukan hanya seluruh Jakarta, tapi ke seiuruh dunia, sehingga semua wanita yang sudah terlanjur menderita karena racun kecantikan itu dapat pulih kembali seperti sediakala. Tetapi kau tak akan bisa menyiarkan adegan-adegan tadi, Niko." "Kenapa begitu?" "Film yang ada dalam handycammu lkut hangus, ikut netral kembali, seperti belum pernah digunakan." "Apa... ?" pekik Niko Madawi. Lalu, ia memeriksa hasil rekaman kameranya. Ternyata benar. T idak ada satu gambar pun yang terekam oleh kamera itu. "Yaaaah.... siaaaal... !" Niko terkulai lemas, sementara Kumala tersenyum geli, dan Sandhi serta yang lain menertawakannya. SELESAI ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ==============================